Hukum Onani/Mastrubasi dalam Islam
Onani/Masturbasi
hukumnya haram dikarenakan merupakan istimta’ (meraih kesenangan/ kenikmatan)
dengan cara yang tidak Allah Subhanahu wa Ta’ala halalkan. Allah tidak
membolehkan istimta’ dan penyaluran kenikmatan seksual kecuali pada istri atau
budak wanita. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman.
Yang
artinya : “Dan orang-orang yang menjaga kemaluannya, [6] kecuali terhadap
isteri-isteri mereka atau budak yang mereka miliki; maka sesungguhnya mereka
dalam hal ini tiada tercela. [QS Al Mu'minuun: 5 - 6]
Jadi,
istimta’ apapun yang dilakukan bukan pada istri atau budak perempuan, maka
tergolong bentuk kezaliman yang haram. Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah
memberi petunjuk kepada para pemuda agar menikah untuk menghilangkan keliaran
dan pengaruh negative syahwat.
Beliau
Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda yang artinya : “Wahai para pemuda,
barangsiapa di antara kalian telah mampu menikah, maka hendaklah dia menikah
karena nikah itu lebih menundukkan pandangan dan lebih menjaga kemaluan. Sedang
barangsiapa yang belum mampu maka hendaknya dia berpuasa karena puasa itu akan menjadi
tameng baginya”. [Hadits Riwayat Bukhari 4/106 dan Muslim no. 1400 dari Ibnu
Mas'ud]
Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wa sallam memberi kita petunjuk mematahkan (godaan) syahwat
dan menjauhkan diri dari bahayanya dengan dua cara : berpuasa untuk yang tidak
mampu menikah, dan menikah untuk yang mampu. Petunjuk beliau ini menunjukkan
bahwa tidak ada cara ketiga yang para pemuda diperbolehkan menggunakannya untuk
menghilangkan (godaan) syahwat. Dengan begitu, maka onani/masturbasi haram
hukumnya sehingga tidak boleh dilakukan dalam kondisi apapun menurut jumhur
ulama.
Wajib
bagi anda untuk bertaubat kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala dan tidak mengulangi
kembali perbuatan seperti itu. Begitu pula, anda harus menjauhi hal-hal yang
dapat mengobarkan syahwat anda, sebagaimana yang anda sebutkan bahwa anda
menonton televisi dan video serta melihat acara-acara yang membangkitkan
syahwat. Wajib bagi anda menjauhi acara-acara itu. Jangan memutar video atau
televisi yang menampilkan acara-acara yang membangkitkan syahwat karena semua
itu termasuk sebab-sebab yang mendatangkan keburukan.
Seorang
muslim seyogyanya (selalu) menutup pintu-pintu keburukan untuk dirinya dan
membuka pintu-pintu kebaikan. Segala sesuatu yang mendatangkan keburukan dan
fitnah pada diri anda, hendaknya anda jauhi. Di antara sarana fitnah yang
terbesar adalah film dan drama seri yang menampilkan perempuan-perempuan
penggoda dan adegan-adegan yang membakar syahwat. Jadi anda wajib menjauhi
semua itu dan memutus jalannya kepada anda.
Adapun
tentang mengulangi shalat witir atau nafilah, itu tidak wajib bagi anda.
Perbuatan dosa yang anda lakukan itu tidak membatalkan witir yang telah anda
kerjakan. Jika anda mengerjakan shalat witir atau nafilah atau tahajjud,
kemudian setelah itu anda melakukan onani, maka onani itulah yang diharamkan
–anda berdosa karena melakukannya-, sedangkan ibadah yang anda kerjakan
tidaklah batal karenanya. Hal itu karena suatu ibadah jika ditunaikan dengan
tata cara yang sesuai syari’at, maka tidak akan batal/gugur kecuali oleh syirik
atau murtad –kita berlindung kepada Allah dari keduanya-. Adapun dosa-dosa
selain keduanya, maka tidak membatalkan amal shalih yang terlah dikerjakan,
namun pelakunya tetap berdosa. [Al-Muntaqa min Fatawa Fadhilah Syaikh Shalih
bin Fauzan bin Abdullah Al-Fauzan IV 273-274]
Kebiasan
jelek beronani/masturbasi
Ini
yang disebut oleh sebagian orang “kebiasaan tersembunyi” dan disebut pula
“jildu ‘umairah” dan ‘‘istimna” (onani). Jumhur ulama mengharamkannya, dan
inilah yang benar, sebab Allah Subhanahu wa Ta’ala ketika menyebutkan
orang-orang Mu’min dan sifat-sifatnya.
(yang
artinya) : “Dan orang-orang yang menjaga kemaluannya, [6] kecuali terhadap
isteri-isteri mereka atau budak yang mereka miliki; maka sesungguhnya mereka
dalam hal ini tiada tercela. [7] Barangsiapa mencari yang di balik itu maka
mereka itulah orang-orang yang melampaui batas. [QS Al Mu'minuun: 5 - 7]
Al-‘Adiy
artinya orang yang zhalim yang melanggar aturan-aturan Allah.
Di
dalam ayat di atas Allah memberitakan bahwa barangsiapa yang tidak bersetubuh
dengan istrinya dan melakukan onani, maka berarti ia telah melampaui batas ;
dan tidak syak lagi bahwa onani itu melanggar batasan Allah.
Maka
dari itu, para ulama mengambil kesimpulan dari ayat di atas, bahwa kebiasaan
tersembunyi (onani) itu haram hukumnya. Kebiasaan rahasia itu adalah
mengeluarkan sperma dengan tangan di saat syahwat bergejolak. Perbuatan ini
tidak boleh ia lakukan, karena mengandung banyak bahaya sebagaimana dijelaskan
oleh para dokter kesehatan.
Bahkan
ada sebagian ulama yang menulis kitab tentang masalah ini, di dalamnya
dikumpulkan bahaya-bahaya kebiasan buruk tersebut. Kewajiban anda, wahai
penanya, adalah mewaspadainya dan menjauhi kebiasaan buruk itu, karena sangat
banyak mengandung bahaya yang sudah tidak diragukan lagi, dan juga betentangan
dengan makna yang gamblang dari ayat Al-Qur’an dan menyalahi apa yang
dihalalkan oleh Allah bagi hamba-hambaNya.
Maka
ia wajib segera meninggalkan dan mewaspadainya. Dan bagi siapa saja yang
dorongan syahwatnya terasa makin dahsyat dan merasa khawatir terhadap dirinya
(perbuatan yang tercela) hendaknya segera menikah, dan jika belum mampu
hendaknya berpuasa, sebagaimana arahan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa
sallam. (artinya) : “Wahai sekalian para pemuda, barangsiapa di antara kamu
yang mempunyai kemampuan hendaklah segera menikah, karena nikah itu lebih
menundukkan mata dan lebih menjaga kehormatan diri. Dan barangsiapa yang belum
mampu hendakanya berpuasa, karena puasa itu dapat membentenginya” [Muttafaq
‘Alaih]
Didalam
hadits ini beliau tidak mengatakan : “Barangsiapa yang belum mampu, maka
lakukanlah onani, atau hendaklah ia mengeluarkan spermanya”, akan tetapi beliau
mengatakan : “Dan barangsiapa yang belum mampu hendaknya berpuasa, karena puasa
itu dapat membentenginya”
Pada
hadits tadi Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam menyebutkan dua hal, yaitu
:
Pertama.
Segera menikah bagi yang mampu.
Kedua.
Meredam nafsu syahwat dengan melakukan puasa bagi orang yang belum mampu
menikah, sebab puasa itu dapat melemahkan godaan dan bisikan syetan.
Maka
hendaklah anda, wahai pemuda, beretika dengan etika agama dan
bersungguh-sungguh di dalam berupaya memelihara kehormatan diri anda dengan
nikah syar’i sekalipun harus dengan berhutang atau meminjam dana. Insya Allah,
Dia akan memberimu kecukupan untuk melunasinya.
Menikah
itu merupakan amal shalih dan orang yang menikah pasti mendapat pertolongan,
sebagaimana Rasulullah tegaskan di dalam haditsnya. (yang artinya) : “Ada tiga
orang yang pasti (berhak) mendapat pertolongan Allah Azza wa Jalla : Al-Mukatab
(budak yang berupaya memerdekakan diri) yang hendak menunaikan tebusan darinya.
Lelaki yang menikah karena ingin menjaga kesucian dan kehormatan dirinya, dan
mujahid (pejuang) di jalan Allah” [Diriwayatkan oleh At-Turmudzi, Nasa’i dan
Ibnu Majah]
Tanya Jawab
Permasalahan:
Tanya:
Saya
hanya ingin bertanya hukum Islam tentang masturbasi, bagaimana hukumnya? Terima
kasih,
Jawab:
Dalam
Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), "masturbasi" diartikan sebagai
"proses memperoleh kepuasan seks tanpa berhubungan kelamin." Tentu
saja definisi ini dapat mencakup banyak cara sehingga tidak mudah menjawab
pertanyaan Anda secara hitam putih –boleh atau tidak.
Pada
prinsipnya al-Qur'an mencela siapa pun yang menyalurkan kebutuhan seksualnya
kepada bukan pasangannya yang sah dan budak-budak perempuannya (baca QS Al
Mu’minun (23) 5-6). Tentu saja yang dimaksud dengan budak perempuan adalah pada
masa lalu ketika budak perempuan masih ada.
Banyak
ulama yang memahami ayat ini menyatakan: Jika hanya dua cara itu yang
dibenarkan, maka semua cara lainnya tidak dibenarkan, termasuk menyalurkan
kebutuhan seksual melalui diri sendiri.
Mereka
juga meriwayatkan hadits yang menyatakan: Terkutuk siapa yang menikai
tangannya." Tapi ulama lain, seperti Imam Ahmad bin Hanbal, salah seorang
tokoh mazhab Sunni kenamaan, berpendapat bahwa mencari kepuasan seksual melalui
upaya sendiri sampai terjadinya orgasme dapat dibenarkan jika dibutuhkan. Itu,
menurut logikanya, serupa dengan mengeluarkan sesuatu yang ada dalam diri
seseorang katakanlah seperti berbekam.
Pendapat
tersebut sangat longgar, karena itu sebagian ulama kendati membolehkannya,
menetapkan beberapa syarat: 1) Yang bersangkutan tidak memiliki pasangan hidup,
karena tidak mampu menikah. 2) Takut terjerumus dalam haram. 3) Tidak untuk
tujuan memperoleh kelezatan, tetapi untuk menyalurkan dorongan berahi yang
sangat kuat. Dan 4) Hanya dilakukan sekali-sekali. Demikian, wallahu a'lam.
Tanya
:
“Saya
seorang pelajar muslim (selama ini) saya terjerat oleh kabiasaan
onani/masturbasi. Saya diombang-ambingkan oleh dorongan hawa nafsu sampai
berlebih-lebihan melakukannya. Akibatnya saya meninggalkan shalat dalam waktu
yang lama. Saat ini, saya berusaha sekuat tenaga (untuk menghentikannya). Hanya
saja, saya seringkali gagal. Terkadang setelah melakukan shalat witir di malam
hari, pada saat tidur saya melakukannya. Apakah shalat yang saya kerjakan itu
diterima ? Haruskah saya mengqadha shalat ? Lantas, apa hukum onani ? Perlu
diketahui, saya melakukan onani biasanya setelah menonton televisi atau video.”
Jawab
:
Onani/Masturbasi
hukumnya haram dikarenakan merupakan istimta’ (meraih kesenangan/kenikmatan)
dengan cara yang tidak Allah Subhanahu wa Ta’ala halalkan. Allah tidak
membolehkan istimta’ dan penyaluran kenikmatan seksual kecuali pada istri atau
budak wanita. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman.
Yang
artinya : “Dan orang-orang yang menjaga kemaluannya, [6] kecuali terhadap
isteri-isteri mereka atau budak yang mereka miliki; maka sesungguhnya mereka
dalam hal ini tiada tercela. [QS Al Mu'minuun: 5 - 6]
Jadi,
istimta’ apapun yang dilakukan bukan pada istri atau budak perempuan, maka
tergolong bentuk kezaliman yang haram. Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah
memberi petunjuk kepada para pemuda agar menikah untuk menghilangkan keliaran
dan pengaruh negative syahwat.
Beliau
Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda yang artinya : “Wahai para pemuda,
barangsiapa di antara kalian telah mampu menikah, maka hendaklah dia menikah
karena nikah itu lebih menundukkan pandangan dan lebih menjaga kemaluan. Sedang
barangsiapa yang belum mampu maka hendaknya dia berpuasa karena puasa itu akan
menjadi tameng baginya”. [Hadits Riwayat Bukhari 4/106 dan Muslim no. 1400 dari
Ibnu Mas'ud]
Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wa sallam memberi kita petunjuk mematahkan (godaan) syahwat
dan menjauhkan diri dari bahayanya dengan dua cara : berpuasa untuk yang tidak
mampu menikah, dan menikah untuk yang mampu. Petunjuk beliau ini menunjukkan
bahwa tidak ada cara ketiga yang para pemuda diperbolehkan menggunakannya untuk
menghilangkan (godaan) syahwat. Dengan begitu, maka onani/masturbasi haram
hukumnya sehingga tidak boleh dilakukan dalam kondisi apapun menurut jumhur
ulama.
Wajib
bagi anda untuk bertaubat kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala dan tidak mengulangi
kembali perbuatan seperti itu. Begitu pula, anda harus menjauhi hal-hal yang
dapat mengobarkan syahwat anda, sebagaimana yang anda sebutkan bahwa anda
menonton televisi dan video serta melihat acara-acara yang membangkitkan
syahwat. Wajib bagi anda menjauhi acara-acara itu. Jangan memutar video atau
televisi yang menampilkan acara-acara yang membangkitkan syahwat karena semua
itu termasuk sebab-sebab yang mendatangkan keburukan.
Seorang
muslim seyogyanya (selalu) menutup pintu-pintu keburukan untuk dirinya dan
membuka pintu-pintu kebaikan. Segala sesuatu yang mendatangkan keburukan dan
fitnah pada diri anda, hendaknya anda jauhi. Di antara sarana fitnah yang
terbesar adalah film dan drama seri yang menampilkan perempuan-perempuan
penggoda dan adegan-adegan yang membakar syahwat. Jadi anda wajib menjauhi
semua itu dan memutus jalannya kepada anda.
Adapun
tentang mengulangi shalat witir atau nafilah, itu tidak wajib bagi anda.
Perbuatan dosa yang anda lakukan itu tidak membatalkan witir yang telah anda
kerjakan. Jika anda mengerjakan shalat witir atau nafilah atau tahajjud,
kemudian setelah itu anda melakukan onani, maka onani itulah yang diharamkan
–anda berdosa karena melakukannya-, sedangkan ibadah yang anda kerjakan
tidaklah batal karenanya. Hal itu karena suatu ibadah jika ditunaikan dengan
tata cara yang sesuai syari’at, maka tidak akan batal/gugur kecuali oleh syirik
atau murtad –kita berlindung kepada Allah dari keduanya-. Adapun dosa-dosa
selain keduanya, maka tidak membatalkan amal shalih yang terlah dikerjakan,
namun pelakunya tetap berdosa. [Al-Muntaqa min Fatawa Fadhilah Syaikh Shalih
bin Fauzan bin Abdullah Al-Fauzan IV 273-274]
Tanya
:
“Apa
hukum melakukan kebiasaan tersembunyi (onani) ?”
Jawab
:
“Melakukan
kebiasaan tersembunyi (onani), yaitu mengeluarkan mani dengan tangan atau
lainnya hukumnya adalah haram berdasarkan dalil Al-Qur’an dan Sunnah serta
penelitian yang benar.
Dalam
Al-Qur’an dinyatakan :
(yang
artinya) : “Dan orang-orang yang menjaga kemaluannya, [6] kecuali terhadap
isteri-isteri mereka atau budak yang mereka miliki; maka sesungguhnya mereka
dalam hal ini tiada tercela. [7] Barangsiapa mencari yang di balik itu maka
mereka itulah orang-orang yang melampaui batas. [QS Al Mu'minuun: 5 - 7]
Siapa
saja mengikuti dorongan syahwatnya bukan pada istrinya atau budaknya, maka ia
telah “mencari yang di balik itu”, dan berarti ia melanggar batas berdasarkan
ayat di atas.
Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda.
“Wahai
sekalian para pemuda, barangsiapa di antara kamu yang mempunyai kemampuan
hendaklah segera menikah, karena nikah itu lebih menundukkan mata dan lebih
menjaga kehormatan diri. Dan barangsiapa yang belum mampu hendaknya berpuasa,
karena puasa itu dapat membentenginya” [Hadits Riwayat Bukhari 4/106 dan Muslim
no. 1400 dari Ibnu Mas'ud]
Pada
hadits ini Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan orang yang
tidak mampu menikah agar berpuasa. Kalau sekiranya melakukan onani itu boleh,
tentu Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam menganjurkannya. Oleh karena
beliau tidak menganjurkannya, padahal mudah dilakukan, maka secara pasti dapat
diketahui bahwa melakukan onani itu tidak boleh.
Penelitian
yang benar pun telah membuktikan banyak bahaya yang timbul akibat kebiasaan
tersembunyi itu, sebagaimana telah dijelaskan oleh para dokter. Ada bahayanya
yang kembali kepada tubuh dan kepada system reproduksi, kepada fikiran dan juga
kepada sikap. Bahkan dapat menghambat pernikahan yang sesungguhnya. Sebab
apabila seseorang telah dapat memenuhi kebutuhan biologisnya dengan cara
seperti itu, maka boleh jadi ia tidak menghiraukan pernikahan.
[As
ilah muhimmah ajaba ‘alaiha Ibnu Utsaimin, hal. 9, disalin dari buku Fatawa
Asy-Syar’iyyah Fi Al-Masa’il Al-Ashriyyah Min Fatawa Ulama Al-Balad Al-Haram]
Tanya :
Syaikh
Abdul Aziz bin Baz ditanya : “Ada seseorang yang berkata ; Apabila seorang
lelaki perjaka melakukan onani, apakah hal itu bisa disebut zina dan apa
hukumnya ?”
Jawab :
Ini
yang disebut oleh sebagian orang “kebiasaan tersembunyi” dan disebut pula
“jildu ‘umairah” dan ‘‘istimna” (onani). Jumhur ulama mengharamkannya, dan
inilah yang benar, sebab Allah Subhanahu wa Ta’ala ketika menyebutkan
orang-orang Mu’min dan sifat-sifatnya.
(yang
artinya) : “Dan orang-orang yang menjaga kemaluannya, [6] kecuali terhadap
isteri-isteri mereka atau budak yang mereka miliki; maka sesungguhnya mereka
dalam hal ini tiada tercela. [7] Barangsiapa mencari yang di balik itu maka
mereka itulah orang-orang yang melampaui batas. [QS Al Mu'minuun: 5 - 7]
Al-‘Adiy
artinya orang yang zhalim yang melanggar aturan-aturan Allah.
Di
dalam ayat di atas Allah memberitakan bahwa barangsiapa yang tidak bersetubuh
dengan istrinya dan melakukan onani, maka berarti ia telah melampaui batas ;
dan tidak syak lagi bahwa onani itu melanggar batasan Allah.
Maka
dari itu, para ulama mengambil kesimpulan dari ayat di atas, bahwa kebiasaan
tersembunyi (onani) itu haram hukumnya. Kebiasaan rahasia itu adalah
mengeluarkan sperma dengan tangan di saat syahwat bergejolak. Perbuatan ini
tidak boleh ia lakukan, karena mengandung banyak bahaya sebagaimana dijelaskan
oleh para dokter kesehatan.
Bahkan
ada sebagian ulama yang menulis kitab tentang masalah ini, di dalamnya
dikumpulkan bahaya-bahaya kebiasan buruk tersebut. Kewajiban anda, wahai
penanya, adalah mewaspadainya dan menjauhi kebiasaan buruk itu, karena sangat
banyak mengandung bahaya yang sudah tidak diragukan lagi, dan juga betentangan
dengan makna yang gamblang dari ayat Al-Qur’an dan menyalahi apa yang
dihalalkan oleh Allah bagi hamba-hambaNya.
Maka
ia wajib segera meninggalkan dan mewaspadainya. Dan bagi siapa saja yang
dorongan syahwatnya terasa makin dahsyat dan merasa khawatir terhadap dirinya
(perbuatan yang tercela) hendaknya segera menikah, dan jika belum mampu hendaknya
berpuasa, sebagaimana arahan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam.
(artinya) : “Wahai sekalian para pemuda, barangsiapa di antara kamu yang
mempunyai kemampuan hendaklah segera menikah, karena nikah itu lebih
menundukkan mata dan lebih menjaga kehormatan diri. Dan barangsiapa yang belum
mampu hendakanya berpuasa, karena puasa itu dapat membentenginya” [Muttafaq
‘Alaih]
Didalam
hadits ini beliau tidak mengatakan : “Barangsiapa yang belum mampu, maka
lakukanlah onani, atau hendaklah ia mengeluarkan spermanya”, akan tetapi beliau
mengatakan : “Dan barangsiapa yang belum mampu hendaknya berpuasa, karena puasa
itu dapat membentenginya”
Pada
hadits tadi Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam menyebutkan dua hal, yaitu
: Pertama. Segera
menikah bagi yang mampu.
Kedua. Meredam nafsu syahwat dengan melakukan
puasa bagi orang yang belum mampu menikah, sebab puasa itu dapat melemahkan
godaan dan bisikan syetan.
Maka
hendaklah anda, wahai pemuda, beretika dengan etika agama dan
bersungguh-sungguh di dalam berupaya memelihara kehormatan diri anda dengan
nikah syar’i sekalipun harus dengan berhutang atau meminjam dana. Insya Allah,
Dia akan memberimu kecukupan untuk melunasinya.
Menikah
itu merupakan amal shalih dan orang yang menikah pasti mendapat pertolongan, sebagaimana
Rasulullah tegaskan di dalam haditsnya. (yang artinya) : “Ada tiga orang yang
pasti (berhak) mendapat pertolongan Allah Azza wa Jalla : Al-Mukatab (budak
yang berupaya memerdekakan diri) yang hendak menunaikan tebusan darinya. Lelaki
yang menikah karena ingin menjaga kesucian dan kehormatan dirinya, dan mujahid
(pejuang) di jalan Allah” [Diriwayatkan oleh At-Turmudzi, Nasa’i dan Ibnu
Majah]
[Fatawa
Syaikh Bin Baz, dimuat dalam Majalah Al-Buhuts, edisi 26 hal 129-130, disalin
dari. Kitab Al-Fatawa Asy-Syar’iyyah Fi Al-Masa’il Al-Ashriyyah Min Fatawa
Ulama Al-Balad Al-Haram]
Berhubung
banyak yang menanyakan tentang hukum beronani di bulan puasa atau saat
berpuasa, maka berikut fatwa dari dua Ulama’ Ahlus Sunnah Wal Jama’ah masa ini
berkaitan dengan masalah tersebut.
Tanya:
Apa
hukumnya orang yang beronani di bulan Ramadhan, apakah ia dikenai sanksi
sebagaimana sanksi yang dikenakan kepada orang yang melakukan jimak dengan
istrinya (di siang hari di bulan Ramadhan)?
Jawab:
Ia
berdosa, namun tidak ada kafarah (denda) atasnya. Ia berdosa karena Nabi
shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda dalam sebuah hadits yang beliau
riwayatkan dari Rabbnya:
“Ia
meninggalkan makanan, minuman dan syahwatnya karena Aku.”
Ia
tidak wajib mengqadhanya, karena qadha tidak ditunaikan kecuali dengan adanya
dalil, sedangkan dalil-dalil yang ada berlaku bagi orang yang safar (bepergian)
dan orang yang sakit, bila ia berbuka.
Allah
Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
Maka
barangsiapa di antara kalian sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka),
maka (wajiblah baginya berpuasa) sebanyak hari yang ditinggalkan itu pada
hari-hari yang lain.”
(Al-Baqarah: 184)
Demikian
pula dengan wanita yang haidh, ia harus mengqadha puasanya berdasarkan hadits
‘Aisyah radhiyallaahu ‘anha dalam kitab Shahih Al-Bukhari dan Shahih
Muslim. Wanita yang menyusui dan wanita hamil mengqadha puasa bila mereka
berbuka berdasarkan hadits dari Anas bin Malik Al-Ka’bi, dan mengqadha puasa
didasarkan pada ayat tersebut di muka.
Tanya:
Jika
seseorang yang sedang berpuasa melakukan masturbasi (onani), apakah perbuatan
ini membatalkan puasanya? Apakah ia wajib untuk membayar kaffaarah?
Jawab:
Jika
seseorang yang sedang berpuasa melakukan masturbasi hingga ejakulasi
(mengeluarkan mani), maka puasanya batal dan ia wajib mengqadha puasa untuk
hari ketika ia melakukan masturbasi.
Tidak
ada kaffaarah atasnya, karena kaffaarah tidak diwajibkan kecuali
untuk jimaa’, namun ia harus bertaubat atas apa yang telah ia lakukan.
Dari
fatwa di atas nampak ada perbedaan pendapat antara Syaikh Muqbil dan Syaikh Al
Utsaimin -Rahimahullah ajma’in-, nampak bagi ana fatwa dari Al Allamah Muqbil
bin Hadi Al Wadi’ lebih kuat, yaitu tidak adanya qadha bagi orang yang
beronani, namun dia berdosa. Hal ini karena untuk penetapan diperlukannya qadha
memerlukan dalil khusus dan tidak ditemukan dalil mengenai kewajiban mengqadha
puasa akibat beronani. Ini pendapat pribadi ana, Wallahu ‘alam
Sekedar
tambahan informasi, Alhamdulillah sekarang telah terbit sebuah buku setebal 104
halaman yang membahas tentang onani yang diterbitkan oleh penerbit Al Husna.
Buku tersebut berjudul “Bahas Tuntas Hukum Onani” yang merupakan
risalah terjemahan dari risalah yang ditulis oleh Al Imam Asy Syaukani
dan Asy Syaikh Muqbil berkenaan dengan hukum onani. Buku tersebut di terjemahkan
oleh Abu Hudzaifah Yahya, Abu Umar Urwah, Abu Luqman ‘Abdullah dengan
muraja’ah oleh Al Ustadz Abu ‘Abdirrahman ‘Abdul ‘Aziz -Semoga Allah
‘Azza Wa Jalla memberi ganjaran yang setimpal atas amal mereka.
Sisi
Kesehatan:
Bagi
wanita meskipun masturbasi tergolong beresiko rendah, ada beberapa dampak dari
masturbasi :
1.
Robeknya selaput dara dan terjadi infeksi apabila dilakukan dengan menggunakan
alat.
2.
Mengalami lecet apabila dilakukan secara terus menerus dana menggunakan alat
bantu.
3.
Masturbasi merupakan tindakan mencapai kepuasan sendiri, sementara hubungan
seks suami istri yang dicapai adalah kepuasan bersama, sehingga jika terbiasa
melakukan aktivitas seksual untuk kepuasan pribadi akan sulit ketika melakukan
aktifitas seksual untuk kepentingan bersama.
4.
Menimbulkan perasaan bersalah atau berdosa karena dilarang agama atau norma.
5. Mengakibatkan pikiran lebih tertuju
kepada aktifitas seksual, sehingga bisa jadi mengabaikan hal-hal penting
lainnya yang harus dilakukan untuk mengembangkan kematangan psikologisnya
(bergaul, belajar, beraktivitas positif dan produktif).
Namun
demikian, sebagai jalan keluar paling terakhir yang dapat dilakukan untuk
menyalurkan dorongan seksual adalah onani atau masturbasi. Hal ini perlu
dijelaskan kepada remaja, bahwa mereka harus berupaya sekuat tenaga, namun jika
masih sulit, onani atau masturbasi dapat menjadi pilihan terakhir untuk
menyalurkan dorongan seksual.
Cara
menghentikan kebiasaan Masturbasi :
1.
Memperkuat daya kemauan. Ini hanya mungkin jika memang kita secara jujur dan
tulus hendak melepaskan diri kebiasaan ini.
2.
Berdoa dengan penuh penghayatan dan mendekatkan diri pada Tuhan. Sehingga dapat
meningkatkan kekuatan keimanan yang membentengi dari perbuatan yang sia-sia.
3.
Pahami perilaku seksual (motif, sumber perilaku, faktor-faktor pencetus),
sehingga kita bisa lebih menyadari rangsangan-rangsangan dari diri dan
lingkungan yang dapat meningkatkan dorongan seksual dan melemahkan pengendalian
diri, dan menggantikannya kepada bentuk perilaku lain yang lebih produktif.
(misalnya : menghindari sendirian dikamar, menghindari gambar-gambar porno,
berduaan dengan pacar, menggambar atau menulis dll).
4.
Mencari kegiatan yang positif untuk mengisi waktu luang, mengembangkan diri
serta menyalurkan energi psikis kepada hal-hal yang positif/produktif. Misalnya
: olahraga, seni, dll.
5.
Jagalah makanan. jangan makan makanan yang pedas dan panas yang dapat
merangsang dorongan seksual, misalnya daging kambing.
Diolah
dari berbagai sumber
Tidak ada komentar:
Posting Komentar