Rabu, 18 Juli 2012

Tata Cara Fidyah

Cara Bayar Fidyah Bagi Orang yang Sakit, Wanita Hamil dan Menyusui

Allâh Ta'ala telah menurunkan kewajiban puasa kepada Nabi-Nya yang mulia pada tahun kedua Hijriyah. Puasa pertama kali diwajibkan dengan takhyir (bersifat pilihan). Barangsiapa yang mau, maka dia berpuasa. Dan barangsiapa yang tidak berkehendak, maka dia boleh tidak berpuasa, akan tetapi dia membayar fidyah. Kemudian hukum tersebut dihapus, dan bagi seluruh orang beriman yang menjumpai bulan Ramadhan diperintahkan untuk berpuasa.

Pada zaman sekarang ini, ada sebagian orang yang beranggapan, bahwa seseorang boleh tidak berpuasa meskipun sama sekali tidak ada udzur, asalkan dia mengganti dengan membayar fidyah. Jelas hal ini tidak dibenarkan dalam agama kita.

Untuk memperjelas tentang fidyah, dalam tulisan ini akan kami uraikan beberapa hal berkaitan dengan fidyah tersebut. Semoga Allâh Ta'ala memberikan taufik-Nya kepada kita untuk ilmu yang bermanfa’at, serta amal shalih yang Dia ridhai.

A. DEFINISI FIDYAH
Fidyah ( فدية ) atau fidaa ( فدى ) atau fida‘ ( فداء ) adalah satu makna. Yang artinya, apabila dia memberikan tebusan kepada seseorang, maka orang tersebut akan menyelamatkannya.[1]
Di dalam kitab-kitab fiqih, fidyah, dikenal dengan istilah “ith’am”, yang artinya memberi makan. Adapun fidyah yang akan kita bahas di sini ialah, sesuatu yang harus diberikan kepada orang miskin, berupa makanan, sebagai pengganti karena dia meninggalkan puasa.

B. TAFSIR AYAT TENTANG FIDYAH
Allâh Ta'ala telah menyebutkan tentang fidyah dalam Kitab-Nya Yang Mulia.
Allâh Ta'ala berfirman:

Maka barangsiapa di antara kalian yang sakit atau dalam bepergian (di bulan Ramadhan), wajib baginya untuk mengganti pada hari-hari yang lain. Dan wajib bagi orang yang mampu berpuasa (tapi tidak mengerjakannya), untuk membayar fidyah dengan memberi makan kepada seorang miskin. Barangsiapa yang berbuat baik ketika membayar fidyah (kepada miskin yang lain)maka itu lebih baik baginya, dan apabila kalian berpuasa itu lebih baik bagi kalian, jika kalian mengetahui. (QS Al Baqarah : 184)

Ulama telah berbeda pendapat dalam hal firman Allâh Ta'ala :

"Dan wajib bagi orang mampu berpuasa (tapi tidak mengerjakannya), maka dia membayar fidyah dengan memberi makan kepada seorang miskin"

Apakah ayat ini muhkamah atau mansukhah?
Jumhur ulama berpendapat, bahwa ayat ini merupakan rukhshah ketika pertama kali diwajibkan puasa, karena puasa telah memberatkan mereka. Dahulu, orang yang telah memberikan makan kepada seorang miskin, maka dia tidak berpuasa pada hari itu, meskipun dia mampu mengerjakannya, sebagaimana disebutkan dalam hadits Bukhari dan Muslim dari Salamah bin Akwa‘ radhiyallâhu'anhu, kemudian ayat ini telah dimansukh dengan firman Allâh Ta'ala:

"Maka barangsiapa di antara kalian yang menyaksikan bulan Ramadhan,maka hendaklah dia berpuasa."(Al Baqarah ayat 185)

Telah diriwayatkan dari sebagian ahli ilmu, bahwa ayat di atas tidak dimansukh, akan tetapi sebagai rukhshah, khususnya untuk orang-orang tua dan orang yang lemah, apabila mereka tidak mampu mengerjakan puasa kecuali dengan susah payah. Makna ini sesuai dengan bacaan tasydid, yakni artinya, bagi orang yang merasa berat untuk mengerjakannya.[2]

Dari ‘Atha radhiyallâhu'anhu, sesungguhnya dia mendengar Ibnu Abbas radhiyallâhu'anhu membaca ayat:

Tentang ayat ini, Ibnu Abbas radhiyallâhu'anhu berkata:
“Ayat ini tidaklah dimansukh. Yang dimaksud ialah orang tua laki-laki dan wanita, yang keduanya tidak mampu untuk berpuasa, maka ia memberi makan untuk satu hari kepada satu orang miskin”. (Dikeluarkan oleh Al Bukhari di dalam kitab Tafsir).[3]

Berkata Syaikh Abdur Rahman As Sa’di rahimahullâh di dalam tafsirnya:
“Dan ada pendapat yang lain, bahwa ayat tersebut maksudnya mereka yang merasa terbebani dengan puasa dan memberatkan mereka, sehingga tidak mampu mengerjakannya, seperti seorang yang sudah tua; maka dia membayar fidyah untuk setiap hari memberi makan kepada satu orang miskin. Dan ini adalah pendapat yang benar”. [4]

Syaikh Muhammad bin Shalih Al ‘Utsaimin rahimahullâh berkata:
“Penafsiran Ibnu Abbas dalam ayat ini menunjukkan kedalaman fikihnya, karena cara pengambilan dalil dari ayat ini; bahwa Allâh Ta'ala menjadikan fidyah sebagai pengganti dari puasa bagi orang yang mampu untuk berpuasa, jika dia mau maka dia berpuasa; dan jika tidak, maka dia berbuka dan membayar fidyah. Kemudian hukum ini dihapus, sehingga diwajibkan bagi setiap orang untuk berpuasa. Maka ketika seseorang tidak mampu untuk berpuasa, yang wajib baginya adalah penggantinya, yaitu fidyah”. [5]

C. ORANG-ORANG YANG DIWAJIBKAN UNTUK MEMBAYAR FIDYAH
1.
Orang yang tua (jompo) laki-laki dan wanita yang merasa berat apabila berpuasa. Maka ia diperbolehkan untuk berbuka, dan wajib bagi mereka untuk memberi makan setiap hari kepada satu orang miskin. Ini merupakan pendapat Ali, Ibnu Abbas, Abu Hurairah, Anas, Sa’id bin Jubair, Abu Hanifah, Ats-Tsauri dan Auza’i. [6]
2.
Orang sakit yang tidak diharapkan kesembuhannya. Seperti penyakit yang menahun atau penyakit ganas, seperti kanker dan yang semisalnya.
Telah gugur kewajiban untuk berpuasa dari dua kelompok ini, berdasarkan dua hal.
Pertama, karena mereka tidak mampu untuk mengerjakannya.
Kedua, apa yang telah diriwayatkan dari Ibnu ‘Abbas dalam menafsirkan ayat fidyah seperti yang telah dijelaskan di muka.

Berapakah Besar Fidyah?
Sebagian ulama seperti Imam As-Syafi‘i & Imam Malik menetapkan bahwa ukuran fidyah yg harus dibayarkan kpd setiap satu orang fakir miskin adl satu mud gandum sesuai dgn ukuran mud Nabi SAW. Yang dimaksud dgn mud adl telapak tangan yg ditengadahkan ke atas utk menampung makanan, kira-kira mirip orang berdoa.
Sebagian lagi seperti Abu Hanifah mengatakan 2 mud gandum dgn ukuran mud Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam atau setara dgn setengah sha‘ kurma atau tepung. Atau juga bisa disetarakan dgn memberi makan siang & makan malam hingga kenyang kpd satu orang miskin.
Dalam kitab Al-Fiqhul Islami Wa Adillatuhu oleh Dr. Wahbah Az-Zuhaili jilid 1 halaman 143 disebutkan bahwa bila diukur dgn ukuran zaman sekarang ini, satu mud itu setara dgn 675 gram atau 0,688 liter. Sedangkan 1 sha` setara dgn 4 mud . Bila ditimbang, 1 sha` itu beratnya kira-kira 2.176 gram. Bila diukur volumenya, 1 sha` setara dgn 2,75 liter.

Siapa Saja yg Harus Bayar Fidyah?
Orang yg sakit & secara umum ditetapkan sulit utk sembuh lagi.
Orang tua atau lemah yg sudah tdk kuat lagi berpuasa.
Wanita yg hamil & menyusui apabila ketika tdk puasa mengakhawatirkan anak yg dikandung atau disusuinya itu. Mereka itu wajib membayar fidyah saja menurut sebagian ulama, namun menurut Al-Imam Asy-Syafi‘i selain wajib membayar fidyah juga wajib mengqadha’ puasanya. Sedangkan menurut pendapat lain, tdk membayar fidyah tetapi cukup mengqadha‘.
Orang yg menunda kewajiban mengqadha‘ puasa Ramadhan tanpa uzur syar‘i hingga Ramadhan tahun berikutnya telah menjelang. Mereka wajib mengqadha‘nya sekaligus membayar fidyah, menurut sebagian ulama.

Jika ibu sedang melahirkan pada Ramadan, kemudian menyusui selama dua tahun, karena mengkhawatirkan keadaan diri saya dan anak, ibu ini tidak puasa. Nah bagaimana cara membayar puasanya?

Kondisi fisik seorang perempuan dalam menghadapi kehamilan dan saat menyusui, memang berbeda-beda. Namun, pada dasarnya, kalori yang dibutuhkan untuk memberi asupan bagi sang buah hati adalah sama, yaitu sekitar 2.200-2.300 kalori per hari untuk ibu hamil dan 2.200-2.600 kalori per hari untuk ibu menyusui.

Kondisi inilah yang menimbulkan konsekuensi berbeda bagi ibu dalam menghadapi saat puasa Ramadan. Ada yang merasa tidak bermasalah atas dirinya dan sang bayi, sehingga dapat menjalani puasa.

Namun demikian, ada ibu yang mengkhawatirkan keadaan dirinya jika harus terus berpuasa Ramadan. Begitu pula para ibu yang memiliki buah hati yang lemah kondisi fisiknya, masih sangat tergantung asupan makanan dari sang ibu melalui air susu ibu.

Kedua kondisi terakhir, memiliki konsekuuensi hukum yang berbeda bentuk pembayarannya.
1. Untuk ibu hamil dan menyusui, mengkhawatirkan keadaan dirinya saja bila berpuasa maka wajib mengqadha (tanpa fidyah) di hari yang lain ketika telah sanggup berpuasa. Keadaan ini disamakan orang yang sedang sakit dan mengkhawatirkan keadaan dirinya. (QS Al Baqarah: 184).
2. Untuk ibu hamil dan menyusui, mengkhawatirkan keadaan dirinya dan buah hati bila berpuasa; si ibu wajib mengqadha (saja) sebanyak hari-hari puasa yang ditinggalkan ketika sanggup melaksanakan.
3. Untuk ibu hamil dan menyusui, mengkhawatirkan keadaan si buah hati saja, ulama berbeda pendapat tentang proses pembayaran puasa sang ibu.
Dalil ulama yang mewajibkan sang ibu membayar qadha saja, sama sebagaimana kondisi pertama dan kedua, perempuan hamil atau menyusui disamakan statusnya sebagaimana orang sakit. Pendapat ini dipilih oleh Syaikh Bin Baz dan Syaikh As-Sa'di rahimahumallah

Dalil ulama yang mewajibkan sang ibu untuk membayar fidyah saja, sama sebagaimana dalil ulama yang mewajibkan qadha dan fidyah, yaitu perkataan Ibnu Abbas radhiallahu'anhu, "Wanita hamil dan menyusui, jika takut terhadap anak-anaknya, maka mereka berbuka dan memberi makan seorang miskin" ( HR Abu Dawud).

Perempuan hamil dan menyusui hanya membayar fidyah, "Dan wajib bagi orang yang berat menjalankannya (jika mereka tidak berpuasa) membayar diyah (yaitu) membayar makan satu orang miskin" (QS Al-Baqarah: 184).

Perempuan hamil dan menyusui, yang mengkhawatirkan anaknya dianggap sebagai orang yang tercakup dalam ayat ini. Pendapat ini termasuk yang dipilih Syaikh Salim dan Syaikh Ali Hasan hafidzahullah.

Dalil ulama yang mewajibkan qadha disertai fidyah, sebagaimana kondisi pertama dan kedua, yaitu wajibnya bagi orang yang tidak berpuasa untuk mengqadha di hari lain ketika memiliki kemampuan. Para ulama berpendapat tetap wajibnya mengqadha puasa ini, karena tidak ada dalam syariat yang menggugurkan qadha bagi orang yang mampu mengerjakannya.

Sedangkan dalil pembayaran fidyah pada kondisi ketiga ini, termasuk dalam keumuman surah Al-Baqarah: 184, juga dikuatkan perkataan Ibnu Abbas radhiallahu'anhu, "Wanita hamil dan menyusui, jika takut terhadap anak-anaknya, maka mereka berbuka dan memberi makan seorang miskin" (HR Abu Dawud, dishahihkan oleh Syaikh Al Bani dalam Irwa'ul Ghalil).

Begitu pula jawaban Ibnu Umar radhiallahu'anhu ketika ditanya tentang wanita hamil yang khawatir terhadap anaknya, beliau menjawab, "Hendaklah berbuka dan memberi makan seorang miskin setiap hari yang ditinggalkan."

Adapun perkataan Ibnu Abbas dan Ibnu `Umar radhiallahu'anhuma yang hanya menyatakan untuk berbuka tanpa menyebutkan wajib mengqadha, karena hal tersebut (mengqadha) sudah lazim dilakukan ketika seseorang berbuka saat Ramadan.

Masalah : Apabila orang sakit yang tidak diharapkan sembuh ini, setelah dia membayar fidyah kemudian Allâh Ta'ala menakdirkannya sembuh kembali, apa yang harus dia lakukan?
Jawab : Tidak wajib baginya untuk mengqadha puasa yang telah ia tinggalkan, karena kewajiban baginya ketika itu adalah membayar fidyah, sedangkan dia telah melaksanakannya. Oleh karena itu, dia telah terbebas dari kewajibannya, sehingga menjadi gugur kewajibannya untuk berpuasa. [7]
Ada beberapa orang yang diperselisihkan oleh para ulama, apakah mereka membayar fidyah atau tidak. Mereka, di antaranya ialah :
1. Wanita hamil dan wanita yang menyusui.
Bagi wanita hamil dan wanita yang menyusui dibolehkan untuk berbuka. Karena jika wanita hamil berpuasa, pada umumnya akan memberatkan dirinya dan kandungannya. Demikian pula wanita yang menyusui, jika dia berpuasa, maka akan berkurang air susunya sehingga bisa mengganggu perkembangan anaknya.
Dalam hal apakah wajib bagi mereka untuk mengqadha‘ dan membayar fidyah? Dalam permasalahan ini, terdapat perbedaan pendapat di kalangan ahlul ilmi.

Pendapat pertama, wajib bagi mereka untuk mengqadha‘ dan membayar fidyah. Pada pendapat ini pun terdapat perincian. Apabila wanita hamil dan menyusui khawatir akan dirinya saja, maka dia hanya wajib untuk mengqadha‘ tanpa membayar fidyah. Dan apabila mereka takut terhadap janin atau anaknya, maka dia wajib untuk mengqadha‘ dan membayar fidyah.
Dalil dari pendapat ini ialah surat Al-Baqarah ayat 185, yaitu tentang keumuman orang yang sakit, bahwasanya mereka diperintahkan untuk mengqadha‘ puasa ketika mereka mampu pada hari yang lain. Sedangkan dalil tentang wajibnya membayar fidyah, ialah perkataan Ibnu Abbas:

Wanita menyusui dan wanita hamil, jika takut terhadap anak-anaknya, maka keduanya berbuka dan memberi makan. (HR Abu Dawud, dan dishahihkan oleh Syaikh Al Albani dalam Irwa’ul Ghalil, 4/18)

Makna yang semisal dengan ini, telah diriwayatkan juga dari Ibnu Umar radhiyallâhu'anhu; dan atsar ini juga dishahihkan Syaikh Al-Albani rahimahullâh di dalam Irwa’.
Ibnu Qudamah berkata,
”Apabila keduanya khawatir akan dirinya saja, maka dia berbuka, dan hanya wajib untuk mengqadha‘. Dalam masalah ini, kami tidak mengetahui adanya khilaf di antara ahlul ilmi, karena keduanya seperti orang sakit yang takut akan dirinya. Namun, jika keduanya takut terhadap anaknya, maka dia berbuka dan wajib untuk mengqadha‘ dan memberi makan kepada seorang miskin untuk setiap hari. Inilah yang diriwayatkan dari Ibnu ‘Umar dan yang mashur dari madzhab Syafi’i.” [8]

Pendapat kedua, tidak wajib bagi mereka untuk mengqadha’, akan tetapi wajib untuk membayar fidyah. Ini adalah pendapat Ishaq bin Rahawaih.
Dalil dari pendapat ini ialah hadits Anas radhiyallâhu'anhu:

Sesungguhnya Allâh menggugurkan puasa dari wanita hamil dan wanita yang menyusui.
(HR Al-Khamsah)

Dan dengan mengambil dari perkataan Ibnu Abbas radhiyallâhu'anhu, bahwa wanita hamil dan menyusui, jika takut terhadap anaknya, maka dia berbuka dan memberi makan. Sedangkan Ibnu Abbas radhiyallâhu'anhu tidak menyebutkan untuk mengqadha’, namun hanya menyebutkan untuk memberi makan.*)
Pendapat ketiga, wajib bagi mereka untuk mengqadha’ saja. Dengan dalil, bahwa keduanya seperti keadaan orang yang sakit dan seorang yang bepergian. Pendapat ini menyatakan, Ibnu Abbas tidak menyebutkan untuk mengqadha’, karena hal itu sudah maklum, sehingga tidak perlu untuk disebutkan.
Adapun hadits :
“Sesungguhnya Allâh menggugurkan puasa dari orang yang hamil dan menyusui”,
maka yang dimaksud ialah, bahwa Allâh Ta'ala menggugurkan kewajiban untuk berpuasa, akan tetapi wajib bagi mereka untuk mengqadha’. Pendapat ini merupakan madzhab Abu Hanifah. Juga pendapat Al Hasan Al Bashri dan Ibrahim An Nakha’i. Keduanya berkata tentang wanita yang menyusui dan hamil, jika takut terhadap dirinya atau anaknya, maka keduanya berbuka dan mengqadha’ (dikeluarkan oleh Al Bukhari dalam Shahih-nya).
Menurut Syaikh Ibnu ‘Utsaimin rahimahullâh, pendapat inilah yang paling kuat.[9] Beliau (Syaikh Ibnu ‘Utsaimin rahimahullâh) mengatakan, seorang wanita, jika dia menyusui atau hamil dan khawatir terhadap dirinya atau anaknya apabila berpuasa, maka dia berbuka, berdasarkan hadits Anas bin Malik Al-Ka’bi, dia berkata, Rasûlullâh Shallallâhu 'Alaihi Wasallam telah bersabda:

Sesungguhnya Allâh telah menggugurkan dari musafir setengah shalat, dan dari musafir dan wanita hamil atau menyusui (dalam hal, Red) puasa. (HR Al-Khamsah, dan ini lafadz Ibnu Majah. Hadits ini shahih)

Akan tetapi wajib baginya untuk mengqadha’ dari hari yang dia tinggalkan ketika hal itu mudah baginya dan telah hilang rasa takut, seperti orang sakit yang telah sembuh.[10]
Membayar fidyah memang ditetapkan berdasarkan jumlah hari yg ditinggalkan utk berpuasa. Setiap satu hari seseorang meninggalkan puasa, maka dia wajib membayar fidyah kpd satu orang fakir miskin.
Sedangkan teknis pelaksanaannya, apakah mau perhari atau mau sekaligus sebulan, kembali kpd keluasan masing-masing orang. Kalau seseorang nyaman memberi fidyah tiap hari, silahkan dilakukan. Sebaliknya, bila lbh nyaman utk diberikan sekaligus utk puasa satu bulan, silah saja.
Yang penting jumlah takarannya tdk kurang dari yg telah ditetapkan.

Masalah : Wanita hamil atau wanita yang menyusui, jika khawatir terhadap dirinya atau terhadap anaknya pada bulan Ramadhan dan dia berbuka, apakah yang wajib baginya? Apakah dia berbuka dan membayar fidyah dan mengqadha’? Atau apakah dia berbuka dan mengqadha’, tetapi tidak membayar fidyah? Atau berbuka dan membayar fidyah dan tidak mengqadha’? Manakah yang paling benar di antara tiga hal ini?
Jawab :Apabila wanita hamil, dia khawatir terhadap dirinya atau janin yang dikandungnya jika berpuasa pada bulan Ramadhan, maka dia berbuka, dan wajib baginya untuk mengqadha’ saja. Kondisinya dalam hal ini, seperti orang yang tidak mampu untuk berpuasa, atau dia khawatir adanya madharat bagi dirinya jika berpuasa.
Allâh Ta'ala berfirman:

Barangsiapa yang sakit atau dalam perjalanan, maka wajib baginya untuk mengganti dari hari-hari yang lain.
Demikian pula seorang wanita yang menyusui, jika khawatir terhadap dirinya ketika menyusui anaknya pada bulan Ramadhan, atau khawatir terhadap anaknya jika dia berpuasa, sehingga dia tidak mampu untuk menyusuinya, maka dia berbuka dan wajib baginya untuk mengqadha’ saja. Dan semoga Allâh Ta'ala memberikan taufiq.[11]


Orang yang mempunyai kewajiban untuk mengqadha’ puasa,
akan tetapi dia tidak mengerjakannya tanpa udzur hingga Ramadhan berikutnya"
Pendapat yang pertama, wajib baginya untuk mengqadha’ dan membayar fidyah. Hal ini merupakan pendapat jumhur (Malik, Syafi’i, dan Ahmad). Bahkan menurut madzhab Syafi’i, wajib baginya untuk membayar fidyah dari jumlah ramadhan-ramadhan yang dia lewati (yakni jika dia belum mengqadha’ puasa hingga dua Ramadhan berikutnya, maka wajib baginya fidyah dua kali).
Dalil dari pendapat ini adalah: Hadits Abu Hurairah, bahwa Nabi Shallallâhu 'Alaihi Wasallam memerintahkan untuk memberi makan dan mengqadha’ bagi orang yang mengakhirkan hingga Ramadhan berikutnya. (HR Ad Daraquthni dan Al Baihaqi). Akan tetapi, hadits ini dha’if, sehingga tidak bisa dijadikan hujjah. Ibnu Abbas radhiyallâhu'anhu dan Abu Hurairah radhiyallâhu'anhu meriwayatkan tentang orang yang mengakhirkan qadha’ hingga datang Ramadhan berikutnya, mereka mengatakan, agar (orang tersebut, Red) memberi makan untuk setiap hari kepada seorang miskin.[12]

Pendapat kedua, tidak wajib baginya membayar fidyah, akan tetapi dia berdosa, sebab mengakhirkan dalam mengqadha’ puasanya. Ini merupakan madzhab Abu Hanifah, dan merupakan pendapat Al-Hasan dan Ibrahim An-Nakha’i. Karena hal itu merupakan puasa wajib, ketika dia mengakhirkannya, maka tidak wajib membayar denda berupa fidyah, seperti dia mengakhirkan ibadah yang harus dikerjakan sekarang atau menunda nadzarnya.[13]
Berkata Imam Asy Syaukani:
“Maka yang dhahir (pendapat yang kuat) adalah tidak wajib (untuk membayar fidyah)”.[14]
Berkata Syaikh Ibnu ‘Utsaimin:
“Adapun atsar yang diriwayatkan dari Ibnu Abbas radhiyallâhu'anhu dan Abu Hurairah radhiyallâhu'anhu, mungkin bisa kita bawa hukumnya menjadi sunnah, sehingga tidak wajib untuk membayar fidyah. Sehingga, pendapat yang benar dalam masalah ini (ialah), tidak wajib baginya kecuali untuk berpuasa, meskipun dia berdosa karena mengakhirkan dalam menngqadha` “. [15]
Hal ini (berlaku, Red) bagi orang yang mengakhirkan tanpa udzur. Berarti, (bagi) orang yang mengakhirkan meng-qadha’ hingga Ramadhan berikutnya karena udzur, seperti karena sakit atau bepergian, atau waktu yang sangat sempit, maka tidak wajib juga untuk membayar fidyah.

Masalah : Apabila ada orang yang mengalami sakit pada bulan Ramadhan, maka dalam masalah ini ada beberapa hal yang harus diperhatikan.
Pertama. Jika penyakitnya termasuk yang diharapkan untuk sembuh, maka boleh baginya untuk tidak berpuasa hingga dirinya sembuh. Apabila sakitnya berlanjut kemudian dia mati, maka tidak wajib untuk membayar fidyah. Karena kewajibannya adalah mengqadha’, kemudian mati sebelum mengerjakannya.
Kedua. Jika penyakitnya termasuk yang diharapkan untuk sembuh, dan dia tidak berpuasa kemudian dia terbebas dari penyakit itu, namun kemudian mati sebelum mengqadha’nya, maka diperintahkan untuk dibayarkan fidyah dari hari yang dia tinggalkan, diambilkan dari hartanya. Sebab pada asalnya, dirinya mampu untuk mengqadha’, tetapi karena dia mengakhirkannya hingga mati, maka dibayarkan untuknya fidyah.
Ketiga. Jika penyakitnya termasuk yang tidak diharapkan untuk sembuh, maka kewajiban baginya untuk membayar fidyah, sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya. [16]

D. JENIS DAN KADAR DARI FIDYAH
Tidak disebutkan di dalam nash Al-Qur‘an atau As-Sunnah tentang kadar dan jenis fidyah yang harus dikeluarkan. Sesuatu yang tidak ditentukan oleh nash maka kita kembalikan kepada ‘urf (kebiasaan yang lazim). Oleh karena itu, dikatakan sah dalam membayar fidyah, apabila kita sudah memberikan makan kepada seorang miskin, baik berupa makan siang atau makan malam, ataupun memberikan kepada mereka bahan makanan sehingga mereka memilikinya.
Pendapat ulama tentang kadar dan jenis fidyah.
Berkata Imam An Nawawi:
“(Pendapat pertama), kadar (fidyah) ialah satu mud dari makanan untuk setiap hari. Jenisnya, seperti jenis makanan pada zakat fithrah. Maka yang dijadikan pedoman ialah keumuman makanan penduduk di negerinya. Demikian ini pendapat yang paling kuat. Dan ada pendapat yang kedua, yaitu mengeluarkan seperti makanan yang biasa dia makan setiap hari. Dan pendapat yang ketiga, diperbolehkan untuk memilih di antara jenis makanan yang ada”.
Imam An Nawawi juga berkata:
“Tidak sah apabila membayar fidyah dengan tepung, sawiq (tepung yang sangat halus), atau biji-bijian yang sudah rusak, atau (tidak sah) jika membayar fidyah dengan nilainya (uang, Pen.), dan tidak sah juga (membayar fidyah) dengan yang lainnya, sebagaimana yang telah dijelaskan. Fidyah tersebut dibayarkan hanya kepada orang fakir dan miskin. Setiap satu mud terpisah dari satu mud yang lainnya. Maka boleh memberikan beberapa mud dari satu orang dan dari fidyah satu bulan untuk seorang faqir saja”. [17]

Ukuran Satu Mud
Satu mud adalah seperempat sha’. Dan sha’ yang dimaksud ialah sha’ nabawi, yaitu sha’-nya Nabi Shallallâhu 'Alaihi Wasallam. Satu sha’ nabawi sebanding dengan 480 (empat ratus delapan puluh) mitsqal dari biji gandum yang bagus. Satu mitsqal, sama dengan 4,25 gram. Jadi 480 mitsqal seimbang dengan 2040 gram. Berarti satu mud adalah 510 gram.[18]
Menurut pendapat Syaikh Abdullah Al Bassam, satu sha’ nabawi adalah empat mud. Satu mud, sama dengan 625 gram, karena satu sha’ nabawi sama dengan 3000 gram.[19]
Berdasarkan ukuran yang telah disebutkan, maka kita bisa memperkirakan bahwa satu mud dari biji gandum bekisar antara 510 hingga 625 gram. Para ulama telah menjelaskan, fidyah dari selain biji gandum, seperti beras, jagung dan yang lainnya adalah setengah sha’ (dua mud). Dan kita kembali kepada ayat, bahwa orang yang melebihkan di dalam memberi makan kepada orang miskin, yaitu dengan memberikan kepada orang miskin lainnya, maka itu adalah lebih baik baginya.

E. BAGAIMANA CARA MEMBAYAR FIDYAH
Pendapat pertama
Cara membayar fidyah bisa dilakukan dengan dua hal.
Pertama. Memasak atau membuat makanan, kemudian memanggil orang-orang miskin sejumlah hari-hari yang dia tidak berpuasa, sebagaimana hal ini dikerjakan oleh sahabat Anas bin Malik ketika beliau tua.
Disebutkan dari Anas bin Malik radhiyallâhu'anhu, bahwasanya beliau lemah dan tidak mampu untuk berpuasa pada satu tahun. Maka beliau membuatkan satu piring besar dari tsarid (roti). Kemudian beliau memanggil tigapuluh orang miskin, dan mempersilahkan mereka makan hingga kenyang. (Dikeluarkan oleh Al Baihaqi dan dishahihkan oleh Syaikh Al Albani dalam Irwa’ul Ghalil).
Kedua. Memberikan kepada orang miskin berupa makanan yang belum dimasak. Para ulama berkata:
“Dengan satu mud dari burr (biji gandum), atau setengah sha’ dari selainnya. Akan tetapi, sebaiknya diberikan sesuatu untuk dijadikan sebagai lauknya dari daging, atau selainnya, sehingga sempurna pengamalan terhadap firman Allâh Ta'ala yang telah disebutkan”.

Pendapat kedua
Membayar fidyah ada dua cara :
Cara Pertama, dibayar secara satu per satu atau bertahap/dicicil.Dengan syarat dia harus sudah melalui / melewati hari yang ia tidak berpuasa padanya. Gambarannya :
Dia memberi makan kepada satu orang miskin untuk tiap hari yang ia tinggalkan. Misalnya : Dia tidak berpuasa pada hari ke-3, maka pada maghrib hari ketiga tersebut dia memberi makan satu orang miskin. Berikutnya hari ke-4 dia juga tidak berpuasa, maka pada maghrib hari ke-4 tersebut dia memberi makan satu orang miskin. … dst.
Atau bisa juga dikumpulkan beberapa hari yang ia tinggalkan. Misalnya dia tidak berpuasa hari ke-10 sampai ke-29. Pada hari ke-15 dia bayar fidyah untuk hari ke-10 sampai ke-15. Kemudian pada hari ke-25 dia bayar fidyah untuk hari ke-16 hingga hari ke-25. Lalu pada hari ke-29 ia bayar fidyah untuk hari ke-26 hingga ke-29.
Cara Kedua, dibayar sekaligus. Yaitu setelah ia melalui semua hari yang ia tidak berpuasa padanya, maka ia mengundang orang miskin sesuai jumlah hari yang ia tinggalkan. Misalnya seseorang tidak berpuasa sebulan penuh. Maka dia memberi makan 30 orang miskin.

6. WAKTU MEMBAYAR FIDYAH
Adapun waktu membayar fidyah terdapat pilihan. Jika dia mau, maka membayar fidyah untuk seorang miskin pada hari itu juga. Atau jika dia berkehendak, maka mengakhirkan hingga hari terakhir dari bulan Ramadhan sebagaimana dikerjakan sahabat Anas radhiyallâhu'anhu ketika beliau tua. Dan tidak boleh mendahulukan fidyah sebelum Ramadhan, karena hal itu seperti mendahulukan puasa Ramadhan pada bulan Sya’ban. Wallahu Ta’ala A’lam.
Maraji‘:
1.
Al Majmu’ Syarh Al Muhadz-dzab, Imam An Nawawi. Cet. Maktabah Al Irsyad, Jeddah.
2.
Al Mughni, Imam Ibnu Qudamah, Cet. Maktabah Ar Riyadh Al Haditsah, Riyadh, Tahun 1402H.
3.
Mukhtar Ash Shihah, Imam Muhammad Ar Razi, Cet. Maktabah Lubnan, Tahun 1989.
4.
Asy Syarhul Mumti’, Syaikh Muhammad bin Shalih Al ‘Utsaimin. Cet. Maktabah Asaam, Riyadh, Tahun 1416H.
5.
Nailul Authar, Imam Asy Syaukani, Cet. Dar Al Kalim Ath Thayyib, Beirut, Tahun1419 H.
6.
Nailul Maram, Allamah Shiddiq Hasan Khan, Cet. Ramadi, Dammam, Tahun 1418 H.
7.
Irwa’ul Ghalil, Syaikh Muhammad Nashiruddin Al Albani, Cet. Kedua Al Maktab Al Islami, Tahun1405 H.
8.
Fat-hul Bari, Al Hafizh Ibnu Hajar. Cet. Dar Al Ma’rifah, Beirut.
9.
Fatawa Islamiyah, Jama’: Muhammad Al Musnid. Cet Dar Al Wathan, dan kitab-kitab lainnya.

Shahabat Anas bin Malik radhiyallah ‘anhu ketika beliau sudah lanjut usia dan tidak mampu lagi berpuasa, maka beliau memberi makan 30 orang miskin. (diriwayatkan oleh Abu Ya’la dalam Musnad-nya no. 4194. Sebagaimana pula diriwayatkan bahwa shahabat Anas bin Malik radhiyallah ‘anhu juga pernah membayar fidyah untuk tiap hari yang beliau tinggalkan. (lihat Fathul BariVII/180).
* Membayar Fidyah boleh dilakukan ketika masih dalam bulan Ramadhan, boleh juga dilakukan di luar Ramadhan. Ketika di luar Ramadhan, boleh dicicil boleh juga sekaligus.
* * *
b. Adapun membayar fidyah dalam bentuk uang, maka hukumnya tidak boleh. Karena dalam nash dalil disebutkan dengan lafazh “memberi makan”. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman :
وَعَلَى الَّذِينَ يُطِيقُونَهُ فِدْيَةٌ طَعَامُ مِسْكِينٍ
dan wajib bagi orang-orang yang berat menjalankannya (jika mereka tidak berpuasa) membayar fidyah, (yaitu): memberi makan seorang miskin. (Al-Baqarah : 184)
Seorang ‘ulama ahli fiqh international, Asy-Syaikh Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaimin rahimahullah, ketika ditanya dengan pertanyaan serupa beliau menjawab sebagai berikut :
“Wajib atas kita untuk mengetahui salah satu kaidah penting, yaitu bahwa apa yang Allah sebutkan dengan lafazh “Al-Ith’am” atau “Ath-Tha’am” (memberikan makan) maka harus benar-benar ditunaikan dalam bentuk makanan. …. Jadi jika disebutkan dalam dalil dengan lafazh “Al-Ith’am” atau “Ath-Tha’am”(memberikan makan) maka tidak bisa diwakili/diganti dengan dirham (uang). Oleh karena itu orang yang sudah lanjut usia yang berkewajiban memberi makan sebagai ganti dari puasa (yang ia tinggalkan), maka tidak bisa diganti dalam bentuk uang. Walaupun dia membayar dalam bentuk uang senilai dengan harga makanan sebanyak sepuluh kali, maka itu tidak bisa menggugurkan kewajibannya. Karena itu merupakan perbuatan melanggar ketentuan yang ditetapkan oleh dalil.” (Majmu’ Fatawa wa Rasa`il Ibni ‘Utsaimin XVII/84).

Demikian tentang qadha dan fidyah, semoga menjadi landasan bagi kita untuk beramal. Adapun ketika ada perbedaan pendapat di kalangan ulama, ketika saudari kita menjalankan salah satu pendapat ulama tersebut dan berbeda dengan pendapat yang kita pilih, kita tidak berhak memaksakan atau menganggap saudari kita tersebut melakukan suatu kesalahan.

Dari penjelasan di atas, dapat disimpulkan :
  1. Fidyah untuk orang yang tidak mampu berpuasa boleh dibayarkan setiap hari selama bulan Ramadhan. Waktunya adalah ketika berbuka pada hari yang bersangkutan.
  2. Fidyah boleh juga dibayarkan dicicil beberapa hari sekaligus.
  3. fidyah boleh juga dibayarkan sekaligus selama satu bulan.
  4. Syarat terpenting untuk bisa membayar fidyah adalah sudah terlalui/terlewatinya hari yang ia tidak berpuasa padanya.
  5. Shahabat Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu pernah membayar fidyah dengan satu per satu, pernah juga sekaligus.
  6. Bahwa membayar fidyah harus dalam bentuk makanan. Tidak boleh digantikan dalam bentuk uang.
  7. Kaidah penting : apa yang Allah sebutkan dengan lafazh “Al-Ith’am” atau“Ath-Tha’am” (memberikan makan) maka harus benar-benar ditunaikan dalam bentuk makanan.

Diolah dari berbagai sumber.

1 komentar:

  1. Berusaha Lebih Baik Ke Depan: Tata Cara Fidyah >>>>> Download Now

    >>>>> Download Full

    Berusaha Lebih Baik Ke Depan: Tata Cara Fidyah >>>>> Download LINK

    >>>>> Download Now

    Berusaha Lebih Baik Ke Depan: Tata Cara Fidyah >>>>> Download Full

    >>>>> Download LINK M9

    BalasHapus