Cara Bayar Fidyah Bagi Orang yang Sakit, Wanita
Hamil dan Menyusui
Allâh
Ta'ala telah menurunkan kewajiban puasa kepada Nabi-Nya yang mulia pada tahun
kedua Hijriyah. Puasa pertama kali diwajibkan dengan takhyir (bersifat
pilihan). Barangsiapa yang mau, maka dia berpuasa. Dan barangsiapa yang tidak
berkehendak, maka dia boleh tidak berpuasa, akan tetapi dia membayar fidyah.
Kemudian hukum tersebut dihapus, dan bagi seluruh orang beriman yang menjumpai
bulan Ramadhan diperintahkan untuk berpuasa.
Pada
zaman sekarang ini, ada sebagian orang yang beranggapan, bahwa seseorang boleh
tidak berpuasa meskipun sama sekali tidak ada udzur, asalkan dia mengganti
dengan membayar fidyah. Jelas hal ini tidak dibenarkan dalam agama kita.
Untuk
memperjelas tentang fidyah, dalam tulisan ini akan kami uraikan beberapa hal
berkaitan dengan fidyah tersebut. Semoga Allâh Ta'ala memberikan taufik-Nya
kepada kita untuk ilmu yang bermanfa’at, serta amal shalih yang Dia ridhai.
A. DEFINISI FIDYAH
Fidyah
( فدية ) atau fidaa ( فدى ) atau fida‘ ( فداء ) adalah satu makna. Yang artinya,
apabila dia memberikan tebusan kepada seseorang, maka orang tersebut akan
menyelamatkannya.[1]
Di
dalam kitab-kitab fiqih, fidyah, dikenal dengan istilah “ith’am”, yang artinya
memberi makan. Adapun fidyah yang akan kita bahas di sini ialah, sesuatu yang
harus diberikan kepada orang miskin, berupa makanan, sebagai pengganti karena
dia meninggalkan puasa.
B.
TAFSIR AYAT TENTANG FIDYAH
Allâh
Ta'ala telah menyebutkan tentang fidyah dalam Kitab-Nya Yang Mulia.
Allâh
Ta'ala berfirman:
Maka
barangsiapa di antara kalian yang sakit atau dalam bepergian (di bulan
Ramadhan), wajib baginya untuk mengganti pada hari-hari yang lain. Dan wajib
bagi orang yang mampu berpuasa (tapi tidak mengerjakannya), untuk membayar
fidyah dengan memberi makan kepada seorang miskin. Barangsiapa yang berbuat
baik ketika membayar fidyah (kepada miskin yang lain)maka itu lebih baik
baginya, dan apabila kalian berpuasa itu lebih baik bagi kalian, jika kalian
mengetahui. (QS Al Baqarah : 184)
Ulama
telah berbeda pendapat dalam hal firman Allâh Ta'ala :
"Dan
wajib bagi orang mampu berpuasa (tapi tidak mengerjakannya), maka dia membayar
fidyah dengan memberi makan kepada seorang miskin"
Apakah
ayat ini muhkamah atau mansukhah?
Jumhur
ulama berpendapat, bahwa ayat ini merupakan rukhshah ketika pertama kali
diwajibkan puasa, karena puasa telah memberatkan mereka. Dahulu, orang yang
telah memberikan makan kepada seorang miskin, maka dia tidak berpuasa pada hari
itu, meskipun dia mampu mengerjakannya, sebagaimana disebutkan dalam hadits
Bukhari dan Muslim dari Salamah bin Akwa‘ radhiyallâhu'anhu, kemudian
ayat ini telah dimansukh dengan firman Allâh Ta'ala:
"Maka
barangsiapa di antara kalian yang menyaksikan bulan Ramadhan,maka hendaklah dia
berpuasa."(Al Baqarah ayat 185)
Telah
diriwayatkan dari sebagian ahli ilmu, bahwa ayat di atas tidak dimansukh, akan
tetapi sebagai rukhshah, khususnya untuk orang-orang tua dan orang yang lemah,
apabila mereka tidak mampu mengerjakan puasa kecuali dengan susah payah. Makna
ini sesuai dengan bacaan tasydid, yakni artinya, bagi orang yang merasa berat
untuk mengerjakannya.[2]
Dari
‘Atha radhiyallâhu'anhu, sesungguhnya dia mendengar Ibnu Abbas radhiyallâhu'anhu
membaca ayat:
Tentang
ayat ini, Ibnu Abbas radhiyallâhu'anhu berkata:
“Ayat
ini tidaklah dimansukh. Yang dimaksud ialah orang tua laki-laki dan wanita,
yang keduanya tidak mampu untuk berpuasa, maka ia memberi makan untuk satu hari
kepada satu orang miskin”. (Dikeluarkan oleh Al Bukhari di dalam kitab
Tafsir).[3]
Berkata
Syaikh Abdur Rahman As Sa’di rahimahullâh di dalam tafsirnya:
“Dan
ada pendapat yang lain, bahwa ayat tersebut maksudnya mereka yang merasa
terbebani dengan puasa dan memberatkan mereka, sehingga tidak mampu
mengerjakannya, seperti seorang yang sudah tua; maka dia membayar fidyah untuk
setiap hari memberi makan kepada satu orang miskin. Dan ini adalah pendapat
yang benar”. [4]
Syaikh
Muhammad bin Shalih Al ‘Utsaimin rahimahullâh berkata:
“Penafsiran
Ibnu Abbas dalam ayat ini menunjukkan kedalaman fikihnya, karena cara
pengambilan dalil dari ayat ini; bahwa Allâh Ta'ala menjadikan fidyah sebagai
pengganti dari puasa bagi orang yang mampu untuk berpuasa, jika dia mau maka
dia berpuasa; dan jika tidak, maka dia berbuka dan membayar fidyah. Kemudian
hukum ini dihapus, sehingga diwajibkan bagi setiap orang untuk berpuasa. Maka
ketika seseorang tidak mampu untuk berpuasa, yang wajib baginya adalah
penggantinya, yaitu fidyah”. [5]
C.
ORANG-ORANG YANG DIWAJIBKAN UNTUK MEMBAYAR FIDYAH
1.
|
Orang
yang tua (jompo) laki-laki dan wanita yang merasa berat apabila berpuasa.
Maka ia diperbolehkan untuk berbuka, dan wajib bagi mereka untuk memberi
makan setiap hari kepada satu orang miskin. Ini merupakan pendapat Ali, Ibnu
Abbas, Abu Hurairah, Anas, Sa’id bin Jubair, Abu Hanifah, Ats-Tsauri dan
Auza’i. [6]
|
2.
|
Orang
sakit yang tidak diharapkan kesembuhannya. Seperti penyakit yang menahun atau
penyakit ganas, seperti kanker dan yang semisalnya.
|
Telah
gugur kewajiban untuk berpuasa dari dua kelompok ini, berdasarkan dua hal.
Pertama, karena mereka tidak mampu untuk
mengerjakannya.
Kedua, apa yang telah diriwayatkan dari Ibnu
‘Abbas dalam menafsirkan ayat fidyah seperti yang telah dijelaskan di muka.
Berapakah
Besar Fidyah?
Sebagian
ulama seperti Imam As-Syafi‘i & Imam Malik menetapkan bahwa ukuran fidyah
yg harus dibayarkan kpd setiap satu orang fakir miskin adl satu mud gandum
sesuai dgn ukuran mud Nabi SAW. Yang dimaksud dgn mud adl telapak tangan yg
ditengadahkan ke atas utk menampung makanan, kira-kira mirip orang berdoa.
Sebagian
lagi seperti Abu Hanifah mengatakan 2 mud gandum dgn ukuran mud Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wa sallam atau setara dgn setengah sha‘ kurma atau tepung.
Atau juga bisa disetarakan dgn memberi makan siang & makan malam hingga
kenyang kpd satu orang miskin.
Dalam
kitab Al-Fiqhul Islami Wa Adillatuhu oleh Dr. Wahbah Az-Zuhaili jilid 1 halaman
143 disebutkan bahwa bila diukur dgn ukuran zaman sekarang ini, satu mud itu
setara dgn 675 gram atau 0,688 liter. Sedangkan 1 sha` setara dgn 4 mud . Bila
ditimbang, 1 sha` itu beratnya kira-kira 2.176 gram. Bila diukur volumenya, 1
sha` setara dgn 2,75 liter.
Siapa
Saja yg Harus Bayar Fidyah?
Orang
yg sakit & secara umum ditetapkan sulit utk sembuh lagi.
Orang
tua atau lemah yg sudah tdk kuat lagi berpuasa.
Wanita yg hamil & menyusui apabila ketika
tdk puasa mengakhawatirkan anak yg dikandung
atau disusuinya itu. Mereka itu wajib membayar fidyah saja menurut sebagian
ulama, namun menurut Al-Imam Asy-Syafi‘i selain wajib membayar fidyah juga
wajib mengqadha’ puasanya. Sedangkan menurut pendapat lain, tdk membayar fidyah
tetapi cukup mengqadha‘.
Orang
yg menunda kewajiban mengqadha‘ puasa Ramadhan tanpa uzur syar‘i
hingga Ramadhan tahun berikutnya telah menjelang. Mereka wajib mengqadha‘nya
sekaligus membayar fidyah, menurut sebagian ulama.
Jika
ibu sedang melahirkan pada Ramadan, kemudian menyusui selama dua tahun, karena
mengkhawatirkan keadaan diri saya dan anak, ibu ini tidak puasa. Nah bagaimana
cara membayar puasanya?
Kondisi
fisik seorang perempuan dalam menghadapi kehamilan dan saat menyusui, memang
berbeda-beda. Namun, pada dasarnya, kalori yang dibutuhkan untuk memberi asupan
bagi sang buah hati adalah sama, yaitu sekitar 2.200-2.300 kalori per hari
untuk ibu hamil dan 2.200-2.600 kalori per hari untuk ibu menyusui.
Kondisi
inilah yang menimbulkan konsekuensi berbeda bagi ibu dalam menghadapi saat
puasa Ramadan. Ada yang merasa tidak bermasalah atas dirinya dan sang bayi,
sehingga dapat menjalani puasa.
Namun
demikian, ada ibu yang mengkhawatirkan keadaan dirinya jika harus terus
berpuasa Ramadan. Begitu pula para ibu yang memiliki buah hati yang lemah
kondisi fisiknya, masih sangat tergantung asupan makanan dari sang ibu melalui
air susu ibu.
Kedua
kondisi terakhir, memiliki konsekuuensi hukum yang berbeda bentuk
pembayarannya.
1.
Untuk ibu hamil dan menyusui, mengkhawatirkan keadaan dirinya saja bila
berpuasa maka wajib mengqadha (tanpa fidyah) di hari yang lain ketika telah
sanggup berpuasa. Keadaan ini disamakan orang yang sedang sakit dan
mengkhawatirkan keadaan dirinya. (QS Al Baqarah: 184).
2.
Untuk ibu hamil dan menyusui, mengkhawatirkan keadaan dirinya dan buah hati
bila berpuasa; si ibu wajib mengqadha (saja) sebanyak hari-hari puasa yang
ditinggalkan ketika sanggup melaksanakan.
3.
Untuk ibu hamil dan menyusui, mengkhawatirkan keadaan si buah hati saja, ulama
berbeda pendapat tentang proses pembayaran puasa sang ibu.
Dalil
ulama yang mewajibkan sang ibu membayar qadha saja, sama sebagaimana kondisi
pertama dan kedua, perempuan hamil atau menyusui disamakan statusnya
sebagaimana orang sakit. Pendapat ini dipilih oleh Syaikh Bin Baz dan Syaikh
As-Sa'di rahimahumallah
Dalil
ulama yang mewajibkan sang ibu untuk membayar fidyah saja, sama sebagaimana
dalil ulama yang mewajibkan qadha dan fidyah, yaitu perkataan Ibnu Abbas
radhiallahu'anhu, "Wanita hamil dan menyusui, jika takut terhadap
anak-anaknya, maka mereka berbuka dan memberi makan seorang miskin" ( HR
Abu Dawud).
Perempuan
hamil dan menyusui hanya membayar fidyah, "Dan wajib bagi orang yang berat
menjalankannya (jika mereka tidak berpuasa) membayar diyah (yaitu) membayar
makan satu orang miskin" (QS Al-Baqarah: 184).
Perempuan
hamil dan menyusui, yang mengkhawatirkan anaknya dianggap sebagai orang yang
tercakup dalam ayat ini. Pendapat ini termasuk yang dipilih Syaikh Salim dan
Syaikh Ali Hasan hafidzahullah.
Dalil
ulama yang mewajibkan qadha disertai fidyah, sebagaimana kondisi pertama dan
kedua, yaitu wajibnya bagi orang yang tidak berpuasa untuk mengqadha di hari
lain ketika memiliki kemampuan. Para ulama berpendapat tetap wajibnya mengqadha
puasa ini, karena tidak ada dalam syariat yang menggugurkan qadha bagi orang
yang mampu mengerjakannya.
Sedangkan
dalil pembayaran fidyah pada kondisi ketiga ini, termasuk dalam keumuman surah
Al-Baqarah: 184, juga dikuatkan perkataan Ibnu Abbas radhiallahu'anhu,
"Wanita hamil dan menyusui, jika takut terhadap anak-anaknya, maka mereka
berbuka dan memberi makan seorang miskin" (HR Abu Dawud, dishahihkan oleh
Syaikh Al Bani dalam Irwa'ul Ghalil).
Begitu
pula jawaban Ibnu Umar radhiallahu'anhu ketika ditanya tentang wanita hamil
yang khawatir terhadap anaknya, beliau menjawab, "Hendaklah berbuka dan
memberi makan seorang miskin setiap hari yang ditinggalkan."
Adapun
perkataan Ibnu Abbas dan Ibnu `Umar radhiallahu'anhuma yang hanya menyatakan
untuk berbuka tanpa menyebutkan wajib mengqadha, karena hal tersebut
(mengqadha) sudah lazim dilakukan ketika seseorang berbuka saat Ramadan.
Masalah : Apabila orang sakit yang tidak
diharapkan sembuh ini, setelah dia membayar fidyah kemudian Allâh Ta'ala
menakdirkannya sembuh kembali, apa yang harus dia lakukan?
Jawab : Tidak wajib baginya untuk mengqadha
puasa yang telah ia tinggalkan, karena kewajiban baginya ketika itu adalah
membayar fidyah, sedangkan dia telah melaksanakannya. Oleh karena itu, dia
telah terbebas dari kewajibannya, sehingga menjadi gugur kewajibannya untuk
berpuasa. [7]
Ada
beberapa orang yang diperselisihkan oleh para ulama, apakah mereka membayar
fidyah atau tidak. Mereka, di antaranya ialah :
1.
Wanita hamil dan wanita yang menyusui.
Bagi
wanita hamil dan wanita yang menyusui dibolehkan untuk berbuka. Karena jika
wanita hamil berpuasa, pada umumnya akan memberatkan dirinya dan kandungannya.
Demikian pula wanita yang menyusui, jika dia berpuasa, maka akan berkurang air
susunya sehingga bisa mengganggu perkembangan anaknya.
Dalam
hal apakah wajib bagi mereka untuk mengqadha‘ dan membayar fidyah? Dalam
permasalahan ini, terdapat perbedaan pendapat di kalangan ahlul ilmi.
Pendapat
pertama, wajib bagi mereka
untuk mengqadha‘ dan membayar fidyah. Pada pendapat ini pun terdapat perincian.
Apabila wanita hamil dan menyusui khawatir akan dirinya saja, maka dia hanya
wajib untuk mengqadha‘ tanpa membayar fidyah. Dan apabila mereka takut terhadap
janin atau anaknya, maka dia wajib untuk mengqadha‘ dan membayar fidyah.
Dalil
dari pendapat ini ialah surat Al-Baqarah ayat 185, yaitu tentang keumuman orang
yang sakit, bahwasanya mereka diperintahkan untuk mengqadha‘ puasa ketika
mereka mampu pada hari yang lain. Sedangkan dalil tentang wajibnya membayar
fidyah, ialah perkataan Ibnu Abbas:
Wanita
menyusui dan wanita hamil, jika takut terhadap anak-anaknya, maka keduanya
berbuka dan memberi makan. (HR Abu Dawud, dan dishahihkan oleh Syaikh Al
Albani dalam Irwa’ul Ghalil, 4/18)
Makna
yang semisal dengan ini, telah diriwayatkan juga dari Ibnu Umar radhiyallâhu'anhu;
dan atsar ini juga dishahihkan Syaikh Al-Albani rahimahullâh di dalam
Irwa’.
Ibnu
Qudamah berkata,
”Apabila
keduanya khawatir akan dirinya saja, maka dia berbuka, dan hanya wajib untuk
mengqadha‘. Dalam masalah ini, kami tidak mengetahui adanya khilaf di antara
ahlul ilmi, karena keduanya seperti orang sakit yang takut akan dirinya. Namun,
jika keduanya takut terhadap anaknya, maka dia berbuka dan wajib untuk
mengqadha‘ dan memberi makan kepada seorang miskin untuk setiap hari. Inilah
yang diriwayatkan dari Ibnu ‘Umar dan yang mashur dari madzhab Syafi’i.” [8]
Pendapat kedua, tidak wajib bagi mereka untuk
mengqadha’, akan tetapi wajib untuk membayar fidyah. Ini adalah pendapat Ishaq
bin Rahawaih.
Dalil
dari pendapat ini ialah hadits Anas radhiyallâhu'anhu:
Sesungguhnya
Allâh menggugurkan puasa dari wanita hamil dan wanita yang menyusui.
(HR Al-Khamsah)
(HR Al-Khamsah)
Dan
dengan mengambil dari perkataan Ibnu Abbas radhiyallâhu'anhu, bahwa
wanita hamil dan menyusui, jika takut terhadap anaknya, maka dia berbuka dan
memberi makan. Sedangkan Ibnu Abbas radhiyallâhu'anhu tidak menyebutkan
untuk mengqadha’, namun hanya menyebutkan untuk memberi makan.*)
Pendapat
ketiga, wajib bagi mereka untuk mengqadha’ saja. Dengan dalil, bahwa keduanya
seperti keadaan orang yang sakit dan seorang yang bepergian. Pendapat ini
menyatakan, Ibnu Abbas tidak menyebutkan untuk mengqadha’, karena hal itu sudah
maklum, sehingga tidak perlu untuk disebutkan.
Adapun
hadits :
“Sesungguhnya
Allâh menggugurkan puasa dari orang yang hamil dan menyusui”,
maka
yang dimaksud ialah, bahwa Allâh Ta'ala menggugurkan kewajiban untuk berpuasa,
akan tetapi wajib bagi mereka untuk mengqadha’. Pendapat ini merupakan madzhab
Abu Hanifah. Juga pendapat Al Hasan Al Bashri dan Ibrahim An Nakha’i. Keduanya
berkata tentang wanita yang menyusui dan hamil, jika takut terhadap dirinya
atau anaknya, maka keduanya berbuka dan mengqadha’ (dikeluarkan oleh Al Bukhari
dalam Shahih-nya).
Menurut
Syaikh Ibnu ‘Utsaimin rahimahullâh, pendapat inilah yang paling kuat.[9]
Beliau (Syaikh Ibnu ‘Utsaimin rahimahullâh) mengatakan, seorang wanita,
jika dia menyusui atau hamil dan khawatir terhadap dirinya atau anaknya apabila
berpuasa, maka dia berbuka, berdasarkan hadits Anas bin Malik Al-Ka’bi, dia
berkata, Rasûlullâh Shallallâhu 'Alaihi Wasallam telah bersabda:
Sesungguhnya
Allâh telah menggugurkan dari musafir setengah shalat, dan dari musafir dan
wanita hamil atau menyusui (dalam hal, Red) puasa. (HR Al-Khamsah, dan ini
lafadz Ibnu Majah. Hadits ini shahih)
Akan
tetapi wajib baginya untuk mengqadha’ dari hari yang dia tinggalkan ketika hal
itu mudah baginya dan telah hilang rasa takut, seperti orang sakit yang telah
sembuh.[10]
Membayar
fidyah memang ditetapkan berdasarkan jumlah hari yg ditinggalkan utk berpuasa.
Setiap satu hari seseorang meninggalkan puasa, maka dia wajib membayar fidyah kpd
satu orang fakir miskin.
Sedangkan
teknis pelaksanaannya, apakah mau perhari atau mau sekaligus sebulan, kembali
kpd keluasan masing-masing orang. Kalau seseorang nyaman memberi fidyah tiap
hari, silahkan dilakukan. Sebaliknya, bila lbh nyaman utk diberikan sekaligus
utk puasa satu bulan, silah saja.
Yang
penting jumlah takarannya tdk kurang dari yg telah ditetapkan.
Masalah : Wanita
hamil atau wanita yang menyusui, jika khawatir terhadap dirinya atau terhadap
anaknya pada bulan Ramadhan dan dia berbuka, apakah yang wajib baginya? Apakah
dia berbuka dan membayar fidyah dan mengqadha’? Atau apakah dia berbuka dan
mengqadha’, tetapi tidak membayar fidyah? Atau berbuka dan membayar fidyah dan
tidak mengqadha’? Manakah yang paling benar di antara tiga hal ini?
Jawab :Apabila wanita hamil, dia khawatir
terhadap dirinya atau janin yang dikandungnya jika berpuasa pada bulan
Ramadhan, maka dia berbuka, dan wajib baginya untuk mengqadha’ saja. Kondisinya
dalam hal ini, seperti orang yang tidak mampu untuk berpuasa, atau dia khawatir
adanya madharat bagi dirinya jika berpuasa.
Allâh
Ta'ala berfirman:
Barangsiapa
yang sakit atau dalam perjalanan, maka wajib baginya untuk mengganti dari
hari-hari yang lain.
Demikian
pula seorang wanita yang menyusui, jika khawatir terhadap dirinya ketika
menyusui anaknya pada bulan Ramadhan, atau khawatir terhadap anaknya jika dia
berpuasa, sehingga dia tidak mampu untuk menyusuinya, maka dia berbuka dan
wajib baginya untuk mengqadha’ saja. Dan semoga Allâh Ta'ala memberikan
taufiq.[11]
Orang
yang mempunyai kewajiban untuk mengqadha’ puasa,
akan tetapi dia tidak mengerjakannya tanpa udzur hingga Ramadhan berikutnya" |
Pendapat
yang pertama, wajib baginya untuk
mengqadha’ dan membayar fidyah. Hal ini merupakan pendapat jumhur (Malik,
Syafi’i, dan Ahmad). Bahkan menurut madzhab Syafi’i, wajib baginya untuk
membayar fidyah dari jumlah ramadhan-ramadhan yang dia lewati (yakni jika dia
belum mengqadha’ puasa hingga dua Ramadhan berikutnya, maka wajib baginya
fidyah dua kali).
Dalil
dari pendapat ini adalah: Hadits Abu Hurairah, bahwa Nabi Shallallâhu
'Alaihi Wasallam memerintahkan untuk memberi makan dan mengqadha’ bagi
orang yang mengakhirkan hingga Ramadhan berikutnya. (HR Ad Daraquthni dan Al
Baihaqi). Akan tetapi, hadits ini dha’if, sehingga tidak bisa dijadikan hujjah.
Ibnu Abbas radhiyallâhu'anhu dan Abu Hurairah radhiyallâhu'anhu
meriwayatkan tentang orang yang mengakhirkan qadha’ hingga datang Ramadhan
berikutnya, mereka mengatakan, agar (orang tersebut, Red) memberi makan untuk
setiap hari kepada seorang miskin.[12]
Pendapat
kedua, tidak wajib baginya
membayar fidyah, akan tetapi dia berdosa, sebab mengakhirkan dalam mengqadha’
puasanya. Ini merupakan madzhab Abu Hanifah, dan merupakan pendapat Al-Hasan
dan Ibrahim An-Nakha’i. Karena hal itu merupakan puasa wajib, ketika dia
mengakhirkannya, maka tidak wajib membayar denda berupa fidyah, seperti dia
mengakhirkan ibadah yang harus dikerjakan sekarang atau menunda nadzarnya.[13]
Berkata
Imam Asy Syaukani:
“Maka
yang dhahir (pendapat yang kuat) adalah tidak wajib (untuk membayar
fidyah)”.[14]
Berkata
Syaikh Ibnu ‘Utsaimin:
“Adapun
atsar yang diriwayatkan dari Ibnu Abbas radhiyallâhu'anhu dan Abu
Hurairah radhiyallâhu'anhu, mungkin bisa kita bawa hukumnya menjadi
sunnah, sehingga tidak wajib untuk membayar fidyah. Sehingga, pendapat yang
benar dalam masalah ini (ialah), tidak wajib baginya kecuali untuk berpuasa,
meskipun dia berdosa karena mengakhirkan dalam menngqadha` “. [15]
Hal
ini (berlaku, Red) bagi orang yang mengakhirkan tanpa udzur. Berarti, (bagi)
orang yang mengakhirkan meng-qadha’ hingga Ramadhan berikutnya karena udzur,
seperti karena sakit atau bepergian, atau waktu yang sangat sempit, maka tidak
wajib juga untuk membayar fidyah.
Masalah : Apabila ada orang yang mengalami
sakit pada bulan Ramadhan, maka dalam masalah ini ada beberapa hal yang harus
diperhatikan.
Pertama. Jika penyakitnya termasuk yang
diharapkan untuk sembuh, maka boleh baginya untuk tidak berpuasa hingga dirinya
sembuh. Apabila sakitnya berlanjut kemudian dia mati, maka tidak wajib untuk
membayar fidyah. Karena kewajibannya adalah mengqadha’, kemudian mati sebelum
mengerjakannya.
Kedua. Jika penyakitnya termasuk yang
diharapkan untuk sembuh, dan dia tidak berpuasa kemudian dia terbebas dari
penyakit itu, namun kemudian mati sebelum mengqadha’nya, maka diperintahkan
untuk dibayarkan fidyah dari hari yang dia tinggalkan, diambilkan dari
hartanya. Sebab pada asalnya, dirinya mampu untuk mengqadha’, tetapi karena dia
mengakhirkannya hingga mati, maka dibayarkan untuknya fidyah.
Ketiga. Jika penyakitnya termasuk yang tidak
diharapkan untuk sembuh, maka kewajiban baginya untuk membayar fidyah,
sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya. [16]
D.
JENIS DAN KADAR DARI FIDYAH
Tidak
disebutkan di dalam nash Al-Qur‘an atau As-Sunnah tentang kadar dan jenis
fidyah yang harus dikeluarkan. Sesuatu yang tidak ditentukan oleh nash maka
kita kembalikan kepada ‘urf (kebiasaan yang lazim). Oleh karena itu, dikatakan
sah dalam membayar fidyah, apabila kita sudah memberikan makan kepada seorang
miskin, baik berupa makan siang atau makan malam, ataupun memberikan kepada
mereka bahan makanan sehingga mereka memilikinya.
Pendapat
ulama tentang kadar dan jenis fidyah.
Berkata
Imam An Nawawi:
“(Pendapat
pertama), kadar (fidyah) ialah satu mud dari makanan untuk setiap hari.
Jenisnya, seperti jenis makanan pada zakat fithrah. Maka yang dijadikan pedoman
ialah keumuman makanan penduduk di negerinya. Demikian ini pendapat yang paling
kuat. Dan ada pendapat yang kedua, yaitu mengeluarkan seperti makanan
yang biasa dia makan setiap hari. Dan pendapat yang ketiga, diperbolehkan
untuk memilih di antara jenis makanan yang ada”.
Imam
An Nawawi juga berkata:
“Tidak
sah apabila membayar fidyah dengan tepung, sawiq (tepung yang sangat halus),
atau biji-bijian yang sudah rusak, atau (tidak sah) jika membayar fidyah dengan
nilainya (uang, Pen.), dan tidak sah juga (membayar fidyah) dengan yang
lainnya, sebagaimana yang telah dijelaskan. Fidyah tersebut dibayarkan hanya
kepada orang fakir dan miskin. Setiap satu mud terpisah dari satu mud yang
lainnya. Maka boleh memberikan beberapa mud dari satu orang dan dari fidyah
satu bulan untuk seorang faqir saja”. [17]
Ukuran
Satu Mud
Satu
mud adalah seperempat sha’. Dan sha’ yang dimaksud ialah sha’ nabawi, yaitu
sha’-nya Nabi Shallallâhu 'Alaihi Wasallam. Satu sha’ nabawi sebanding
dengan 480 (empat ratus delapan puluh) mitsqal dari biji gandum yang
bagus. Satu mitsqal, sama dengan 4,25 gram. Jadi 480 mitsqal
seimbang dengan 2040 gram. Berarti satu mud adalah 510 gram.[18]
Menurut
pendapat Syaikh Abdullah Al Bassam, satu sha’ nabawi adalah empat mud. Satu
mud, sama dengan 625 gram, karena satu sha’ nabawi sama dengan 3000 gram.[19]
Berdasarkan
ukuran yang telah disebutkan, maka kita bisa memperkirakan bahwa satu mud dari
biji gandum bekisar antara 510 hingga 625 gram. Para ulama telah menjelaskan,
fidyah dari selain biji gandum, seperti beras, jagung dan yang lainnya adalah
setengah sha’ (dua mud). Dan kita kembali kepada ayat, bahwa orang yang
melebihkan di dalam memberi makan kepada orang miskin, yaitu dengan memberikan
kepada orang miskin lainnya, maka itu adalah lebih baik baginya.
E.
BAGAIMANA CARA MEMBAYAR FIDYAH
Pendapat pertama
Cara
membayar fidyah bisa dilakukan dengan dua hal.
Pertama. Memasak atau membuat makanan,
kemudian memanggil orang-orang miskin sejumlah hari-hari yang dia tidak
berpuasa, sebagaimana hal ini dikerjakan oleh sahabat Anas bin Malik ketika
beliau tua.
Disebutkan
dari Anas bin Malik radhiyallâhu'anhu, bahwasanya beliau lemah dan tidak
mampu untuk berpuasa pada satu tahun. Maka beliau membuatkan satu piring besar
dari tsarid (roti). Kemudian beliau memanggil tigapuluh orang miskin, dan
mempersilahkan mereka makan hingga kenyang. (Dikeluarkan oleh Al Baihaqi dan
dishahihkan oleh Syaikh Al Albani dalam Irwa’ul Ghalil).
Kedua. Memberikan kepada orang miskin berupa
makanan yang belum dimasak. Para ulama berkata:
“Dengan
satu mud dari burr (biji gandum), atau setengah sha’ dari selainnya. Akan
tetapi, sebaiknya diberikan sesuatu untuk dijadikan sebagai lauknya dari
daging, atau selainnya, sehingga sempurna pengamalan terhadap firman Allâh
Ta'ala yang telah disebutkan”.
Pendapat kedua
Membayar
fidyah ada dua cara :
Cara
Pertama, dibayar secara satu per satu atau bertahap/dicicil.Dengan syarat dia harus sudah melalui /
melewati hari yang ia tidak berpuasa padanya. Gambarannya :
Dia
memberi makan kepada satu orang miskin untuk tiap hari yang ia tinggalkan.
Misalnya : Dia tidak berpuasa pada hari ke-3, maka pada maghrib hari ketiga
tersebut dia memberi makan satu orang miskin. Berikutnya hari ke-4 dia juga
tidak berpuasa, maka pada maghrib hari ke-4 tersebut dia memberi makan satu
orang miskin. … dst.
Atau
bisa juga dikumpulkan beberapa hari yang ia tinggalkan. Misalnya dia tidak
berpuasa hari ke-10 sampai ke-29. Pada hari ke-15 dia bayar fidyah untuk hari
ke-10 sampai ke-15. Kemudian pada hari ke-25 dia bayar fidyah untuk hari ke-16
hingga hari ke-25. Lalu pada hari ke-29 ia bayar fidyah untuk hari ke-26 hingga
ke-29.
Cara
Kedua, dibayar sekaligus. Yaitu
setelah ia melalui semua hari yang ia tidak berpuasa padanya, maka ia mengundang
orang miskin sesuai jumlah hari yang ia tinggalkan. Misalnya seseorang tidak
berpuasa sebulan penuh. Maka dia memberi makan 30 orang miskin.
6.
WAKTU MEMBAYAR FIDYAH
Adapun
waktu membayar fidyah terdapat pilihan. Jika dia mau, maka membayar fidyah untuk
seorang miskin pada hari itu juga. Atau jika dia berkehendak, maka mengakhirkan
hingga hari terakhir dari bulan Ramadhan sebagaimana dikerjakan sahabat Anas radhiyallâhu'anhu
ketika beliau tua. Dan tidak boleh mendahulukan fidyah sebelum Ramadhan, karena
hal itu seperti mendahulukan puasa Ramadhan pada bulan Sya’ban. Wallahu Ta’ala
A’lam.
Maraji‘:
1.
|
Al
Majmu’ Syarh Al Muhadz-dzab, Imam An Nawawi. Cet. Maktabah Al Irsyad, Jeddah.
|
2.
|
Al
Mughni, Imam Ibnu Qudamah, Cet. Maktabah Ar Riyadh Al Haditsah, Riyadh, Tahun
1402H.
|
3.
|
Mukhtar
Ash Shihah, Imam Muhammad Ar Razi, Cet. Maktabah Lubnan, Tahun 1989.
|
4.
|
Asy
Syarhul Mumti’, Syaikh Muhammad bin Shalih Al ‘Utsaimin. Cet. Maktabah Asaam,
Riyadh, Tahun 1416H.
|
5.
|
Nailul
Authar, Imam Asy Syaukani, Cet. Dar Al Kalim Ath Thayyib, Beirut, Tahun1419
H.
|
6.
|
Nailul
Maram, Allamah Shiddiq Hasan Khan, Cet. Ramadi, Dammam, Tahun 1418 H.
|
7.
|
Irwa’ul
Ghalil, Syaikh Muhammad Nashiruddin Al Albani, Cet. Kedua Al Maktab Al
Islami, Tahun1405 H.
|
8.
|
Fat-hul
Bari, Al Hafizh Ibnu Hajar. Cet. Dar Al Ma’rifah, Beirut.
|
9.
|
Fatawa
Islamiyah, Jama’: Muhammad Al Musnid. Cet Dar Al Wathan, dan kitab-kitab
lainnya.
|
Shahabat
Anas bin Malik radhiyallah ‘anhu ketika beliau sudah lanjut
usia dan tidak mampu lagi berpuasa, maka beliau memberi makan 30 orang miskin. (diriwayatkan oleh Abu Ya’la
dalam Musnad-nya no. 4194. Sebagaimana pula diriwayatkan bahwa
shahabat Anas bin Malik radhiyallah ‘anhu juga pernah membayar
fidyah untuk tiap hari yang beliau tinggalkan. (lihat Fathul BariVII/180).
*
Membayar Fidyah boleh dilakukan ketika masih dalam bulan Ramadhan, boleh juga
dilakukan di luar Ramadhan. Ketika di luar Ramadhan, boleh dicicil boleh juga
sekaligus.
* * *
b. Adapun
membayar fidyah dalam bentuk uang, maka hukumnya tidak boleh. Karena
dalam nash dalil disebutkan dengan lafazh “memberi makan”.
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman :
وَعَلَى
الَّذِينَ يُطِيقُونَهُ فِدْيَةٌ طَعَامُ مِسْكِينٍ
dan
wajib bagi orang-orang yang berat menjalankannya (jika mereka tidak berpuasa)
membayar fidyah, (yaitu): memberi makan seorang miskin. (Al-Baqarah : 184)
Seorang
‘ulama ahli fiqh international, Asy-Syaikh Muhammad bin Shalih
Al-‘Utsaimin rahimahullah, ketika ditanya dengan pertanyaan
serupa beliau menjawab sebagai berikut :
“Wajib
atas kita untuk mengetahui salah satu kaidah penting, yaitu bahwa apa yang
Allah sebutkan dengan lafazh “Al-Ith’am” atau “Ath-Tha’am” (memberikan
makan) maka harus benar-benar ditunaikan dalam bentuk makanan. ….
Jadi jika disebutkan dalam dalil dengan lafazh “Al-Ith’am” atau “Ath-Tha’am”(memberikan
makan) maka tidak bisa diwakili/diganti dengan dirham (uang). Oleh karena itu
orang yang sudah lanjut usia yang berkewajiban memberi makan sebagai ganti dari
puasa (yang ia tinggalkan), maka tidak bisa diganti dalam bentuk uang. Walaupun
dia membayar dalam bentuk uang senilai dengan harga makanan sebanyak sepuluh
kali, maka itu tidak bisa menggugurkan kewajibannya. Karena itu merupakan
perbuatan melanggar ketentuan yang ditetapkan oleh dalil.” (Majmu’ Fatawa wa
Rasa`il Ibni ‘Utsaimin XVII/84).
Demikian
tentang qadha dan fidyah, semoga menjadi landasan bagi kita untuk beramal.
Adapun ketika ada perbedaan pendapat di kalangan ulama, ketika saudari kita
menjalankan salah satu pendapat ulama tersebut dan berbeda dengan pendapat yang
kita pilih, kita tidak berhak memaksakan atau menganggap saudari kita tersebut
melakukan suatu kesalahan.
Dari
penjelasan di atas, dapat disimpulkan :
- Fidyah untuk orang yang tidak mampu berpuasa boleh dibayarkan setiap hari selama bulan Ramadhan. Waktunya adalah ketika berbuka pada hari yang bersangkutan.
- Fidyah boleh juga dibayarkan dicicil beberapa hari sekaligus.
- fidyah boleh juga dibayarkan sekaligus selama satu bulan.
- Syarat terpenting untuk bisa membayar fidyah adalah sudah terlalui/terlewatinya hari yang ia tidak berpuasa padanya.
- Shahabat Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu pernah membayar fidyah dengan satu per satu, pernah juga sekaligus.
- Bahwa membayar fidyah harus dalam bentuk makanan. Tidak boleh digantikan dalam bentuk uang.
- Kaidah penting : apa yang Allah sebutkan dengan lafazh “Al-Ith’am” atau“Ath-Tha’am” (memberikan makan) maka harus benar-benar ditunaikan dalam bentuk makanan.
Diolah
dari berbagai sumber.
Berusaha Lebih Baik Ke Depan: Tata Cara Fidyah >>>>> Download Now
BalasHapus>>>>> Download Full
Berusaha Lebih Baik Ke Depan: Tata Cara Fidyah >>>>> Download LINK
>>>>> Download Now
Berusaha Lebih Baik Ke Depan: Tata Cara Fidyah >>>>> Download Full
>>>>> Download LINK M9