Sujud Tilawah dan Ayat Sajadah
Sujud
tilawah adalah sujud yang
disebabkan karena membaca atau mendengar ayat-ayat sajadah yang terdapat dalam
Al Qur’an Al Karim.
Keutamaan
Sujud Tilawah
Dari
Abu Hurairah, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
“Jika anak Adam membaca ayat sajadah, lalu dia sujud, maka setan
akan menjauhinya sambil menangis. Setan pun akan berkata-kata: “Celaka aku.
Anak Adam disuruh sujud, dia pun bersujud, maka baginya surga. Sedangkan aku
sendiri diperintahkan untuk sujud, namun aku enggan, sehingga aku pantas
mendapatkan neraka.” (HR. Muslim no. 81)
Begitu
juga keutamaan sujud tilawah dijelaskan dalam hadits yang membicarakan
keutamaan sujud secara umum.
Dalam
hadits tentang ru’yatullah (melihat Allah) terdapat hadits dari Abu
Hurairah, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
“Hingga Allah pun menyelesaikan ketentuan di antara hamba-hamba-
Nya, lalu Dia menghendaki dengan rahmat-Nya yaitu siapa saja yang dikehendaki
untuk keluar dari neraka. Dia pun memerintahkan malaikat untuk mengeluarkan
dari neraka siapa saja yang sama sekali tidak berbuat syirik kepada Allah.
Termasuk di antara mereka yang Allah kehendaki adalah orang yang mengucapkan
‘laa ilaha illallah’. Para malaikat tersebut mengenal orang-orang tadi yang
berada di neraka melalui bekas sujud mereka. Api akan melahap bagian tubuh anak
Adam kecuali bekas sujudnya. Allah mengharamkan bagi neraka untuk melahap bekas
sujud tersebut.” (HR. Bukhari no. 7437 dan Muslim no. 182)
Dalam
shahih Muslim, An Nawawi menyebutkan sebuah Bab “Keutamaan sujud dan
dorongan untuk melakukannya”.
Dari
Tsauban, bekas budak Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, dia ditanyakan
oleh Ma’dan bin Abi Tholhah Al Ya’mariy mengenai amalan yang dapat
memasukkannya ke dalam surga atau amalan yang paling dicintai di sisi Allah.
Tsauban pun terdiam, hingga Ma’dan bertanya sampai ketiga kalinya. Kemudian
Tsauban berkata bahwa dia pernah menanyakan hal ini pada Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam, lalu beliau menjawab,
“Perbanyaklah sujud kepada Allah. Sesungguhnya jika engkau
bersujud sekali saja kepada Allah, dengan itu Allah akan mengangkat satu
derajatmu dan juga menghapuskan satu kesalahanmu”.
Ma’dan
berkata, “Kemudian aku bertemu Abud Darda, lalu
menanyakan hal yang sama kepadanya. Abud Darda’ pun menjawab semisal jawaban
Tsauban kepadaku.” (HR. Muslim no.488)
Juga
hadits lainnya yang menceritakan keutamaan sujud yaitu hadits Robi’ah bin Ka’ab
Al Aslamiy. Dia menanyakan pada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengenai
amalan yang bisa membuatnya dekat dengan beliau di surga. Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam bersabda,
“Bantulah aku (untuk mewujudkan cita-citamu) dengan memperbanyak
sujud (shalat).” (HR. Bukhari dan Muslim)
Sujud
Tilawah Wajib Ataukah Sunnah?
Para
ulama sepakat (beijma’) bahwa sujud tilawah adalah amalan yang
disyari’atkan. Di antara dalilnya adalah hadits Ibnu ‘Umar:
“Nabi shallalahu ‘alaihi wa sallam pernah membaca Al Qur’an yang
di dalamnya terdapat ayat sajadah. Kemudian ketika itu beliau bersujud, kami
pun ikut bersujud bersamanya sampai-sampai di antara kami tidak mendapati
tempat karena posisi dahinya.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Kemudian
para ulama berselisih pendapat apakah sujud tilawah wajib ataukah sunnah.
Menurut
Ats Tsauri, Abu Hanifah, salah satu pendapat Imam Ahmad, dan Syaikhul Islam
Ibnu Taimiyah, sujud tilawah itu wajib.
Sedangkan
menurut jumhur (mayoritas) ulama yaitu Malik, Asy Syafi’i, Al Auza’i, Al
Laitsi, Ahmad, Ishaq, Abu Tsaur, Daud dan Ibnu Hazm, juga pendapat sahabat Umar
bin Al Khattab, Salman, Ibnu ‘Abbas, ‘Imron bin Hushain, mereka berpendapat
bahwa sujud tilawah itu sunnah dan bukan wajib.
Dalil
ulama yang menyatakan sujud tilawah adalah wajib, yaitu firman
Allah Ta’ala,
“Mengapa mereka tidak mau beriman? dan apabila Al Quraan dibacakan
kepada mereka, mereka tidak bersujud.” (QS. Al Insyiqaq: 20-21).
Para
ulama yang mewajibkan sujud tilawah beralasan, dalam ayat ini terdapat perintah
dan hukum asal perintah adalah wajib. Dan dalam ayat tersebut juga terdapat
celaan bagi orang yang meninggalkan sujud. Namanya celaan tidaklah diberikan
kecuali pada orang yang meninggalkan sesuatu yang wajib.
Yang lebih tepat adalah sujud tilawah tidaklah wajib,
namun sunnah (dianjurkan) . Dalil yang memalingkan dari perintah wajib adalah
hadits muttafaqun ‘alaih (diriwayatkan oleh Bukhari dan
Muslim).
Dari
Zaid bin Tsabit, beliau berkata,
“Aku pernah membacakan pada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam
surat An Najm, (tatkala bertemu pada ayat sajadah dalam surat tersebut) beliau
tidak bersujud.” (HR. Bukhari dan Muslim).
Bukhari
membawakan riwayat ini pada Bab “Siapa yang membaca ayat sajadah, namun
tidak bersujud.”
Dalil
lain yang memalingkan dari perintah wajib adalah perbuatan Umar bin Khattab dan
perbuatan beliau ini tidak diingkari oleh para sahabat lainnya ketika khutbah
Jum’at.
Pada hari Jum’at Umar bin Khattab pernah membacakan surat An Nahl hingga sampai pada ayat sajadah, beliau turun untuk sujud dan manusia pun ikut sujud ketika itu. Ketika datang Jum’at berikutnya, beliau pun membaca surat yang sama, tatkala sampai pada ayat sajadah, beliau lantas berkata,
Pada hari Jum’at Umar bin Khattab pernah membacakan surat An Nahl hingga sampai pada ayat sajadah, beliau turun untuk sujud dan manusia pun ikut sujud ketika itu. Ketika datang Jum’at berikutnya, beliau pun membaca surat yang sama, tatkala sampai pada ayat sajadah, beliau lantas berkata,
“Wahai sekalian manusia. Kita telah melewati ayat sajadah.
Barangsiapa bersujud, maka dia mendapatkan pahala. Barangsiapa yang tidak
bersujud, dia tidak berdosa.” Kemudian ‘Umar pun tidak bersujud. (HR. Bukhari
no. 1077)
Dari
sinilah Ibnu Qudamah mengatakan bahwa hukum sujud tilawah itu sunnah (tidak
wajib) dan pendapat ini merupakanijma’ sahabat (kesepakatan para sahabat).
(Lihat Al Mughni, 3/96)
Tata
Cara Sujud Tilawah
[Pertama]
Para ulama bersepakat bahwa sujud tilawah cukup dengan sekali sujud.
Para ulama bersepakat bahwa sujud tilawah cukup dengan sekali sujud.
[Kedua]
Bentuk sujudnya sama dengan sujud dalam shalat.
Bentuk sujudnya sama dengan sujud dalam shalat.
[Ketiga]
Tidak
disyari’atkan -berdasarkan pendapat yang paling kuat- untuk takbiratul ihram
dan juga tidak disyari’atkan untuk salam.
Syaikhul
Islam Ibnu Taimiyah mengatakan,
“Sujud tilawah ketika membaca ayat sajadah tidaklah disyari’atkan
untuk takbiratul ihram, juga tidak disyari’atkan untuk salam. Inilah ajaran
yang sudah ma’ruf dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, juga dianut oleh
para ulama salaf, dan inilah pendapat para imam yang telah masyhur.” (Majmu’ Al
Fatawa, 23/165)
[Keempat]
Disyariatkan pula untuk bertakbir ketika hendak sujud dan bangkit dari sujud. Hal ini berdasarkan keumuman hadits Wa-il bin Hujr, “Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam biasa mengangkat kedua tangannya ketika bertakbir. Beliau pun bertakbir ketika sujud dan ketika bangkit dari sujud.” (HR. Ahmad, Ad Darimi, Ath Thoyalisiy. Hasan)
Disyariatkan pula untuk bertakbir ketika hendak sujud dan bangkit dari sujud. Hal ini berdasarkan keumuman hadits Wa-il bin Hujr, “Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam biasa mengangkat kedua tangannya ketika bertakbir. Beliau pun bertakbir ketika sujud dan ketika bangkit dari sujud.” (HR. Ahmad, Ad Darimi, Ath Thoyalisiy. Hasan)
[Kelima]
Lebih utama sujud tilawah dimulai dari keadaan berdiri, ketika sujud tilawah ingin dilaksanakan di luar shalat. Inilah pendapat yang dipilih oleh Hanabilah, sebagian ulama belakangan dari Hanafiyah, salah satu pendapat ulama-ulama Syafi’iyah, dan juga pendapat Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah.
Lebih utama sujud tilawah dimulai dari keadaan berdiri, ketika sujud tilawah ingin dilaksanakan di luar shalat. Inilah pendapat yang dipilih oleh Hanabilah, sebagian ulama belakangan dari Hanafiyah, salah satu pendapat ulama-ulama Syafi’iyah, dan juga pendapat Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah.
Dalil
mereka adalah:
“Sesungguhnya orang-orang yang diberi pengetahuan sebelumnya
apabila Al Qur’an dibacakan kepada mereka, mereka menyungkur atas muka mereka
sambil bersujud.” (QS. Al Isro’: 107).
Kata
mereka, yang namanya yakhirru (menyungkur) adalah dari keadaan berdiri.Namun,
jika seseorang melakukan sujud tilawah dari keadaan duduk, maka ini tidaklah
mengapa. Bahkan Imam Syafi’i dan murid-muridnya mengatakan bahwa tidak ada
dalil yang mensyaratkan bahwa sujud tilawah harus dimulai dari berdiri. Mereka
mengatakan pula bahwa lebih baik meninggalkannya. (Shahih Fiqih Sunnah,
1/449)
Hukum Sujud Tilawah Ditujukan pada Siapa Saja?
[Pertama]
Sujud tilawah ditujukan untuk orang
yang membaca Al Qur’an dan ini berdasarkan kesepakatan para ulama, baik
ayat sajadah dibaca di dalam shalat ataupun di luar shalat.
[Kedua]
Lalu bagaimana untuk orang yang mendengar
bacaan Qur’an dan di sana terdapat ayat sajadah? Apakah dia juga dianjurkan
sujud tilawah?
Dalam
kasus kedua ini terdapat perselisihan di antara para ulama.
Pendapat
pertama mengatakan bahwa
orang yang mendengar bacaan ayat sajadah dianjurkan untuk sujud tilawah,
walaupun orang yang membacanya tidak melakukan sujud. Pendapat pertama ini dipilih
oleh Imam Abu Hanifah, Imam Asy Syafi’i, dan salah satu pendapat Imam Malik.
Pendapat
kedua mengatakan bahwa
orang yang mendengar bacaan ayat sajadah ikut bersujud jika dia menyimak bacaan
dan jika orang yang membaca ayat sajadah tersebut ikut bersujud. Pendapat kedua
ini dipilih oleh Imam Ahmad dan salah satu pendapat Imam Malik. Inilah pendapat
yang lebih kuat.
Dalil
dari pendapat kedua ini adalah dua hadits shahih berikut:
Hadits
Ibnu ‘Umar: “Nabi shallalahu ‘alaihi wa sallam pernah membaca Al Qur’an yang
di dalamnya terdapat ayat sajadah. Kemudian ketika itu beliau bersujud, kami
pun ikut bersujud bersamanya sampai-sampai di antara kami tidak mendapati
tempat karena posisi dahinya.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Ibnu
Mas’ud pernah mengatakan pada Tamim bin Hadzlam yang saat itu adalah seorang
pemuda (ghulam), -tatkala itu dia membacakan pada Ibnu Mas’ud ayat sajadah-,
اسْجُدْ
فَإِنَّكَ إِمَامُنَا فِيهَا
“Bersujudlah
karena engkau adalah imam kami dalam sujud tersebut.” (Diriwayatkan oleh Al
Bukhari secara mu’allaq). Al Bukhari membawakan hadits Ibnu ‘Umar di
atas dan riwayat Ibnu Mas’ud ini pada Bab “Siapa yang sujud karena sujud
orang yang membaca Al Qur’an (ayat sajadah).”
Perhatian: Disyariatkan bagi orang yang
mendengar bacaan ayat sajadah kemudian dia ikut bersujud adalah apabila orang
yang diikuti termasuk orang yang layak jadi imam. Jadi, apabila orang yang
diikuti tadi adalah anak kecil (shobiy) atau wanita, maka orang yang
mendengar bacaan ayat sajadah tadi tidak perlu ikut bersujud. Inilah pendapat
Qotadah, Imam Malik, Imam Asy Syafi’i dan Ishaq. (Lihat Al Mughni, 3/98)
Bolehkah Melakukan Sujud Tilawah di Waktu Terlarang untuk Shalat?
Sujud
tilawah boleh dilakukan di waktu terlarang untuk shalat. Alasannya, karena
sujud tilawah bukanlah shalat. Sedangkan larangan shalat di waktu terlarang
adalah larangan khusus untuk shalat. Inilah pendapat yang lebih kuat di antara
pendapat para ulama. Inilah pendapat Imam Syafi’i dan salah satu pendapat dari
Imam Ahmad. Pendapat ini juga dipilih oleh Ibnu Hazm. (Lihat Shahih Fiqih
Sunnah, 1/452)
Bagaimana Ketika Membaca Ayat Sajadah, Luput Dari Sujud Tilawah?
Dianjurkan
bagi orang yang membaca ayat sajadah atau mendengarnya langsung bersujud
setelah membaca ayat tersebut, walaupun mungkin telat beberapa saat. Namun,
apabila sudah lewat waktu yang cukup lama antara membaca ayat dan sujud, maka
tidak ada anjuran sujud sahwi karena dia sudah luput dari tempatnya. Inilah
pendapat Syafi’iyah dan Hanabilah. (Lihat Shahih Fiqih Sunnah, 1/452)
Sujud Tilawah Ketika Shalat
Dianjurkan
bagi orang yang membaca ayat sajadah dalam shalat baik shalat wajib maupun
shalat sunnah agar melakukan sujud tilawah. Inilah pendapat mayoritas ulama.
Hal ini dianjurkan pada shalat jama’ah atau sendirian dan shalat siriyah
(shalat dengan suara lirih seperti pada shalat zhuhur dan ashar) atau shalat
jariyah (shalat dengan suara keras seperti pada shalat maghrib dan isya).
عَنْ
أَبِى رَافِعٍ قَالَ صَلَّيْتُ مَعَ أَبِى هُرَيْرَةَ الْعَتَمَةَ فَقَرَأَ (
إِذَا السَّمَاءُ انْشَقَّتْ ) فَسَجَدَ فَقُلْتُ مَا هَذِهِ قَالَ سَجَدْتُ بِهَا
خَلْفَ أَبِى الْقَاسِمِ - صلى الله عليه وسلم - فَلاَ أَزَالُ أَسْجُدُ بِهَا
حَتَّى أَلْقَاهُ
Dari
Abu Rofi’, dia berkata bahwa dia shalat Isya’ (shalat ‘atamah) bersama Abu
Hurairah, lalu beliau membaca “idzas samaa’unsyaqqot”, kemudian beliau
sujud. Lalu Abu Rofi’ bertanya pada Abu Hurairah, “Apa ini?” Abu Hurairah pun
menjawab, “Aku bersujud di belakang Abul Qosim (Rasulullah shallallahu ‘alaihi
wa sallam) ketika sampai pada ayat sajadah dalam surat tersebut.” Abu Rofi’
mengatakan, “Aku tidaklah pernah bersujud ketika membaca surat tersebut sampai
aku menemukannya saat ini.” (HR. Bukhari no. 768 dan Muslim no. 578)
Namun
bagaimana jika shalatnya adalah shalat siriyah semacam shalat zhuhur dan shalat
ashar? Pada shalat tersebut, makmum tidak mendengar kalau imam membaca ayat
sajadah.
Sebagian
ulama Hanabilah mengatakan bahwa imam terlarang untuk membaca ayat sajadah
dalam shalat yang tidak dijaherkan suaranya (dikeraskan suaranya). Jika imam
tersebut tetap membaca ayat sajadah dalam shalat semacam itu, maka
tidak perlu ada sujud. Pendapat ini juga adalah pendapat Imam Abu Hanifah.
Alasan dari pendapat ini adalah agar tidak membuat kebingungan pada makmum.
Namun
ulama Syafi’iyah tidaklah melarang hal ini. Karena tugas makmum hanyalah
mengikuti imam. Jadi jika imam melakukan sujud tilawah, maka makmum hanya manut
saja dan dia ikut sujud. Alasannya adalah sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa
sallam,
إِنَّمَا
جُعِلَ الإِمَامُ لِيُؤْتَمَّ بِهِ فَإِذَا كَبَّرَ فَكَبِّرُوا وَإِذَا سَجَدَ
فَاسْجُدُوا
“Sesungguhnya
imam itu untuk diikuti. Jika imam bertakbir, maka bertakbirlah. Jika imam
sujud, maka bersujudlah.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Begitu
pula apabila seorang makmum tatkala dia berada jauh dari imam sehingga tidak
bisa mendengar bacaannya atau makmum tersebut adalah seorang yang tuli, maka
dia harus tetap sujud karena mengikuti imam.
Pendapat
kedua inilah yang lebih tepat. Inilah pendapat yang juga dipilih oleh Ibnu
Qudamah. (Lihat Al Mughni, 3/104)
Terlarang Meloncati Ayat Sajdah Karena Alasan Supaya Tidak Sujud
Ibnu
Qudamah mengatakan, “Dimakruhkan melakukan ikhtishorus sujud
yaitu melompati ayat sajadah agar tidak bersujud. Yang berpendapat seperti ini
adalah Asy Sya’bi, An Nakho’i, Al Hasan, Ishaq. Sedangkan An Nu’man, sahabatnya
Muhammad dan Abu Tsaur memberi keringanan dalam hal ini.” Ibnu Qudamah lalu
mengatakan,
وَلَنَا
أَنَّهُ لَيْسَ بِمَرْوِيٍّ عَنْ السَّلَفِ فِعْلُهُ ، بَلْ كَرَاهَتُهُ
“Menurut
kami, tidak ada diriwayatkan dari seorang salaf pun yang melakukan semacam ini
(yaitu melompati ayat sajadah agar tidak melakukan sujud tilawah), bahkan
mereka (para salaf) memakruhkan hal ini.” (Lihat Al Mughni, 3/103)
Bagaimana Jika Ayat Sajadah Berada Di Akhir Surat?
Surat
yang terdapat ayat sajadah di akhir adalah seperti surat An Najm ayat 62 dan
surat Al ‘Alaq ayat 19. Maka ada tiga pilihan dalam kasus ini.
[Pilihan
pertama] Ketika membaca ayat
sajadah lalu melakukan sujud tilawah kemudian setelah itu berdiri kembali dan
membaca surat lain kemudian ruku’.
Hal
ini sebagaimana yang dilakukan oleh ‘Umar bin Khaththab. Ketika shalat shubuh,
beliau membaca surat Yusuf pada raka’at pertama. Kemudian pada raka’at kedua,
beliau membaca surat An Najm (dalam surat An Najm terdapat ayat sajadah, pen),
lalu beliau sujud (yaitu sujud tilawah). Setelah itu, beliau bangkit lagi dari
sujud kemudian berdiri dan membaca surat “Idzas samaa-un syaqqot” (Diriwayatkan
oleh ‘Abdur Rozaq dan Ath Thohawiy dengan sanad yang shahih)
[Pilihan
kedua] Jika ayat
sajadah di ayat terakhir dari surat, maka cukup dengan ruku’ dan itu sudah
menggantikan sujud.
Ibnu
Mas’ud pernah ditanyakan mengenai surat yang di akhirnya terdapat ayat sajadah,
“Apakah ketika itu perlu sujud ataukah cukup dengan ruku’?” Ibnu Mas’ud
mengatakan, “Jika antara kamu dan ayat sajadah hanya perlu ruku’, maka itu
lebih mendekati.” (Diriwayatkan oleh Ibnu Abi Syaibah dengan sanad yang shahih)
[Pilihan
ketika] Jika ayat sajadah di
ayat terakhir di suatu surat, ketika membaca ayat tersebut, lalu sujud tilawah,
kemudian bertakbir dan berdiri kembali, lalu dilanjutkan dengan ruku’ tanpa ada
penambahan bacaan surat.
Dari
tiga pilihan di atas, cara pertama adalah yang lebih utama. (Lihat Shahih
Fiqih Sunnah, 453-454)
Bagaimana
Tata Cara Sujud Tilawah bagi Orang yang Sedang Berjalan atau Berkendaraan?
Siapa
saja yang membaca atau mendengar ayat sajadah sedangkan dia dalam keadaan
berjalan atau berkendaraan, kemudian ingin melakukan sujud tilawah, maka boleh
pada saat itu berisyarat dengan kepalanya ke arah mana saja. (Shahih Fiqih
Sunnah, 1/450 dan lihat pula Al Mughni)
Dari Ibnu ‘Umar: Beliau ditanyakan mengenai sujud (tilawah) di
atas tunggangan. Beliau mengatakan, “Sujudlah dengan isyarat.” (Diriwayatkan
oleh Al Baihaqi dengan sanad yang shahih)
Bacaan
Ketika Sujud Tilawah
Bacaan
ketika sujud tilawah sama seperti bacaan sujud ketika shalat. Ada beberapa
bacaan yang bisa kita baca ketika sujud di antaranya:
(1)
Dari Hudzaifah, beliau menceritakan tata cara shalat Nabi shallallahu ‘alaihi
wa sallam dan ketika sujud beliau membaca:
“Subhaana robbiyal a’laa” [Maha Suci Allah Yang Maha
Tinggi] (HR. Muslim no. 772)
(2)
Dari ‘Aisyah, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam biasa membaca do’a ketika
ruku’ dan sujud:
“Subhaanakallahumma robbanaa wa bi hamdika, allahummagh firliy.”
[Maha Suci Engkau Ya Allah, Rabb kami, dengan segala pujian kepada-Mu,
ampunilah dosa-dosaku] (HR. Bukhari no. 817 dan Muslim no. 484)
(3)
Dari ‘Ali bin Abi Tholib, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika sujud
membaca:
“Allahumma laka sajadtu, wa bika aamantu wa laka aslamtu,
sajada wajhi lilladzi kholaqohu, wa showwarohu, wa syaqqo sam’ahu, wa
bashorohu. Tabarakallahu ahsanul kholiqiin.” [Ya Allah, kepada-Mu lah aku
bersujud, karena-Mu aku beriman, kepada-Mu aku berserah diri. Wajahku bersujud
kepada Penciptanya, yang Membentuknya, yang Membentuk pendengaran dan
penglihatannya. Maha Suci Allah Sebaik-baik Pencipta] (HR. Muslim no. 771)
Bolehkah
Melakukan Sujud Tilawah di Waktu Terlarang untuk Shalat?
Sujud
tilawah boleh dilakukan di waktu terlarang untuk shalat.Alasannya,
karena sujud tilawah bukanlah shalat. Sedangkan larangan shalat di waktu
terlarang adalah larangan khusus untuk shalat. Inilah pendapat yang lebih kuat
di antara pendapat para ulama. Inilah pendapat Imam Syafi’i dan salah satu
pendapat dari Imam Ahmad. Pendapat ini juga dipilih oleh Ibnu Hazm. (Lihat
Shahih Fiqih Sunnah, 1/452)
Bagaimana
Ketika Membaca Ayat Sajadah, Luput Dari Sujud Tilawah?
Dianjurkan
bagi orang yang membaca ayat sajadah atau mendengarnya langsung bersujud
setelah membaca ayat tersebut, walaupun mungkin telat beberapa saat. Namun,
apabila sudah lewat waktu yang cukup lama antara membaca ayat dan sujud, maka
tidak ada anjuran sujud sahwi karena dia sudah luput dari tempatnya. Inilah
pendapat Syafi’iyah dan Hanabilah. (Lihat Shahih Fiqih Sunnah, 1/452)
Bagaimana
Jika Ayat Sajadah Berada Di Akhir Surat?
Surat
yang terdapat ayat sajadah di akhir adalah seperti surat An Najm ayat 62 dan
surat Al ‘Alaq ayat 19. Maka ada tiga pilihan dalam kasus ini.
[Pilihan
pertama] Ketika membaca
ayat sajadah lalu melakukan sujud tilawah kemudian setelah itu berdiri kembali
dan membaca surat lain kemudian ruku’.
Hal
ini sebagaimana yang dilakukan oleh ‘Umar bin Khaththab. Ketika shalat shubuh,
beliau membaca surat Yusuf pada raka’at pertama. Kemudian pada raka’at kedua,
beliau membaca surat An Najm (dalam surat An Najm terdapat ayat sajadah, pen),
lalu beliau sujud (yaitu sujud tilawah). Setelah itu, beliau bangkit lagi dari
sujud kemudian berdiri dan membaca surat “Idzas samaa-un syaqqot” (Diriwayatkan
oleh ‘Abdur Rozaq dan Ath Thohawiy dengan sanad yang shahih)
[Pilihan
kedua] Jika ayat
sajadah di ayat terakhir dari surat, maka cukup dengan ruku’ dan itu sudah
menggantikan sujud.
Ibnu
Mas’ud pernah ditanyakan mengenai surat yang di akhirnya terdapat ayat sajadah,
“Apakah ketika itu perlu sujud ataukah cukup dengan ruku’?” Ibnu Mas’ud
mengatakan, “Jika antara kamu dan ayat sajadah hanya perlu ruku’, maka itu
lebih mendekati.” (Diriwayatkan oleh Ibnu Abi Syaibah dengan sanad yang shahih)
[Pilihan
ketika] Jika ayat sajadah di
ayat terakhir di suatu surat, ketika membaca ayat tersebut, lalu sujud tilawah,
kemudian bertakbir dan berdiri kembali, lalu dilanjutkan dengan ruku’ tanpa ada
penambahan bacaan surat.
Dari
tiga pilihan di atas, cara pertama adalah yang lebih utama. (Lihat Shahih Fiqih
Sunnah, 453-454)
Bagaimana
Jika Membaca Ayat Sajadah Di Atas Mimbar?
Jika
ayat sajadah dibaca di atas mimbar, maka dianjurkan pula untuk melakukan sujud
tilawah dan para jama’ah juga dianjurkan untuk sujud. Namun apabila sujud itu
ditinggalkan, maka ini juga tidak mengapa. Hal ini telah ada riwayatnya
sebagaimana terdapat pada riwayat Ibnu ‘Umar yang telah lewat.
Di
Mana Sajakah Ayat Sajadah?
Ayat
sajadah di dalam Al Qur’an terdapat pada 15 tempat. Sepuluh tempat disepakati.
Empat tempat masih dipersilisihkan, namun terdapat hadits shahih yang
menjelaskan hal ini. Satu tempat adalah berdasarkan hadits, namun tidak sampai
pada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, akan tetapi sebagian melakukan sujud
tatkala bertemu dengan ayat tersebut. (Lihat pembahasan ini di Shahih Fiqih
Sunnah, 1/454-458)
Sepuluh
ayat yang disepakati sebagai ayat sajadah
1.
QS. Al A’rof ayat 206
2.
QS. Ar Ro’du ayat 15
3.
QS. An Nahl ayat 49-50
4.
QS. Al Isro’ ayat 107-109
5.
QS. Maryam ayat 58
6.
QS. Al Hajj ayat 18
7.
QS. Al Furqon ayat 60
8.
QS. An Naml ayat 25-26
9.
QS. As Sajdah ayat 15
10.
QS. Fushilat ayat 38 (menurut mayoritas ulama), QS. Fushilat ayat 37 (menurut
Malikiyah)
Empat
ayat yang termasuk ayat sajadah namun diperselisihkan, akan tetapi ada dalil
shahih yang menjelaskannya
1.
QS. Shaad ayat 24
2.
QS. An Najm ayat 62 (ayat terakhir)
3.
QS. Al Insyiqaq ayat 20-21
4.
QS. Al ‘Alaq ayat 19 (ayat terakhir)
Satu
ayat yang masih diperselisihkan dan tidak ada hadits marfu’ (hadits yang sampai
pada Nabi) yang menjelaskannya, yaitu surat Al Hajj ayat 77.
Banyak
sahabat yang menganggap ayat ini sebagai ayat sajadah semacam Ibnu ‘Umar, Ibnu
‘Abbas, Ibnu Mas’ud, Abu Musa, Abud Darda, dan ‘Ammar bin Yasar.
Ibnu
Qudamah mengatakan,
“Kami tidaklah mengetahui adanya perselisihan di masa sahabat
mengenai ayat ini sebagai ayat sajadah. Maka ini menunjukkan bahwa para sahabat
telah berijma’ (bersepakat) dalam masalah ini.” (Al Mughni, 3/88)
diolah dari berbagai sumber
Tidak ada komentar:
Posting Komentar